REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya memanfaatkan kesempatan bertemu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo di Mabes Polri pada Rabu (8/8). Dalam pertemuan itu, Presiden bisa tegas memilih KPK untuk menangani kasus dugaan korupsi driving simulator surat izin mengemudi (SIM).
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksamana Bonaparta mengatakan, kepolisian merupakan bagian dari eksekutif dan menjadi bawahan Presiden. Karena itu, kasus korupsi simulator lebih tepat ditangani KPK. "Cukup itu dan itu bukanlah bentuk intervensi," ujar Ganjar, Kamis (9/8).
Menurut dia, di UU No 30/2002 tentang KPK sudah jelas menyatakan, yang berhak menangani perkara korupsi adalah KPK. UU itu bersifat lex specialis dan lebih baru ketimbang UU Polri. Cara membedakannya, contoh Ganjar, semua UU jika disandingkan dengan KUHAP, dengan sendirinya akan menjadi lex specialis.
Karena UU KPK memiliki usia lebih baru, kata Ganjar, norma hukum yang berlaku pun lebih baru dan mengenyampingkan norma yang telah lama. "Berarti UU itu menjadi aturan yang lebih sepatutnya diikuti," ujarnya. Ganjar menganggap tidak ada sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) dalam kasus tersebut.
Dengan alasan itu, perkara penanganan kasus simulator ini tidak perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Masalah ini, kata Ganjar, hanya tinggal menunggu Presiden menginstruksikan Kapolri berhenti menangani kasus. Menurut Ganjar, Kapolri juga kalau baca UU KPK akan berhenti dengan sendirinya.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, UU KPK bersifat lex specialis. "Dari awal dibuat UU itu, rencananya KPK memang ingin dibuat lembaga superbody," kata Jimly. Perseturuan antara KPK dan Polri terkait kasus simulator perlu diselesaikan kedua lembaga itu.