REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Jumat (10/8), mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka meminta KPK supaya tidak segera menahan tersangka kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Kabupaten Buol, Siti Hartati Murdaya yang merupakan Ketua Umum Walubi.
"Kami sangat memerlukan kehadiran Ibu Hartati Murdaya untuk memimpin organisasi dan juga kegiatan bakti sosial kemanusiaan. Jadi kami mohon seyogyanya penahanan tidak dilakukan secepatnya karena kami masih harus membutuhkan arahan-arahan beliau untuk menjalankan organisasi ini," kata Wakil Sekretaris Jenderal Walubi, Gatot Sukarno Ad di kantor KPK.
Gatot mengaku pihaknya sudah memberikan surat secara resmi ke KPK, namun apakah permohonan mereka dikabulkan atau tidak, sambung dia, terserah dari pimpinan KPK. Menurut Gatot, Walubi masih membutuhkan sekali kehdiran dan kepemimpinan Hartati Murdaya.
"Kehadiran dan kepemimpinan Hartati sebagai Ketua Umum Walubi masih diperlukan untuk mengayomi 12 majelis agama Buddha yang bernaung di Walubi," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, pihaknya akan melakukan pembicaraan internal terlebih dahulu guna memutuskan apakah mengabulkan permohonan itu atau tidak.
"Tadi Walubi datang mengantarkan surat permohonan agar ibu SHM (Siti Hartati Murdaya) tidak di tahan. Tadi disampaikan permohonan ini akan dibicarakan dulu sama pimpinan dan penyidik apakah akan dikabulkan atau tidak," kata Johan di kantornya, Jumat (10/8).
KPK telah menetapkan Hartati Murdaya sebagai tersangka. Ia diduga sebagai orang yang melakukan pemberian uang sebesar tiga miliar rupiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu tersangka Bupati Buol, Amran Batalipu.
Hartati Murdaya dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.