REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Ketika Roberto di Matteo berteriak "kita memenanginya" kepada Roman Abramovich saat Chelsea memulai perayaan Liga Champions mereka, sang manajer The Blues tidak menyadari bahwa ia memberi sinyal berakhirnya satu era di Stamford Bridge.
Hanya tiga bulan setelah musim penuh naik-turun bagi Chelsea yang mencapai puncaknya dengan keajaiban di Muenchen, banyak hal telah berganti di klub London Barat itu.
Penyerang tajam Didier Drogba, yang menjadi pahlawan di partai final Liga Champions, sekarang bermain di Cina, sedangkan bintang-bintang yang telah membela Chelsea untuk kurun waktu lama seperti Jose Bosingwa dan Salomon Kalou telah dilepas oleh klub.
Untuk mengisi tempat mereka, Chelsea telah mendatangkan sejumlah pemain muda yakni Eden Hazard, Oscar, dan Marko marin, yang diharapkan dapat mengubah Chelsea dari sekelompok pemain yang tampil dengan permainan bertenaga, menjadi versi Inggris dari Barcelona.
Ini merupakan transformasi yang luar biasa dari tim yang belum lama ini menjadi juara Eropa dan juara Piala FA. Namun, sosok krusial di balik revolusi Chelsea adalah Abramovich, dan bukan di Matteo.
Liga Champions kerap disebut-sebut sebagai "cawan suci" bagi Abramovich, di mana sang pemilik Chelsea itu jatuh cinta kepada sepak bola saat ia menyaksikan pertandingan antara Manchester United melawan Real Madrid pada pertandingan yang dilangsungkan di Old Trafford pada 2003 lalu.
Namun memori yang dikenang Abramovich dari kemenangan 4-3 untuk United bukanlah perjalanan Real menjadi juara Liga Champions saat itu, melainkan kegembiraan yang ia rasakan saat menyaksikan dua tim bermain dengan kepercayaan diri dan inspirasi di panggung besar.
Dari momen tersebut, Abramovich, yang membeli Chelsea pada akhir 2003, bukan hanya menginginkan kesuksesan, namun kesuksesan yang dicapai dengan bergaya seperti yang ia saksikan pada satu malam di Manchester.
Dengan hal itu yang mengisi benaknya, bahkan saat Chelsea akhirnya menjuarai Liga Champions dengan mengalahkankan Bayern Muenchen melalui adu penalti pada Mei, hal itu dapat benar-benar memuaskan sang pria Rusia, yang telah jatuh hati pada cara bermain Barcelona dalam beberapa tahun terakhir.
Ketika di Matteo mungkin merasa laju hebat timnya, termasuk kemenangan atas Barcelona di semifinal adalah pencapaian hebat, Abramovich berbeda pendapat. Kegigihan Chelsea untuk tidak menerima kekalahan saat berhadapan dengan Napoli, Barcelona, dan Bayern menimbulkan rasa hormat.
Namun permainan seperti yang disajikan Lionel Messi, Andres Iniesta, dan Xavi merupakan hal yang ingin dilihat Abramovich di timnya sendiri. Dan apa yang diinginkan Abramovich, mampu ia dapatkan.
Kesukaannya pada Barca dapat terlihat ketika ia gagal merekrut mantan pelatih klub Katalan tersebut, Pep Guardiola - ia tiba-tiba memberi kontrak dua tahun pada di Matteo - serta investasi sebesar 60 juta euro pada diri Hazard, Oscar, dan Marin.
Ketiga pemain itulah, bersama dengan Juan Mata dan Fernando Torres, yang sekarang akan menjadi tumpuan permainan Chelsea, dan bukan pemain-pemain senior seperti John Terry dan Frank Lampard.
Mudah untuk mengkritik campur tangan Abramovich ketika ia sebaiknya menyerahkan urusan tim pada di Matteo, namun setelah Chelsea mengakhiri kompetisi dengan duduk di peringkat keenam pada musim lalu - posisi terendah mereka di era Abramovich - sudah jelas bahwa ada hal-hal yang harus diubah.
Di Matteo jelas-jelas telah dirasuki ide mengenai Chelsea 'yang baru.' Ia berbicara dengan antusias mengenai sejumlah taktik pada tur pra musim klub. "Bergerak di antara garis-garis dan rotasi dapat menjadi ancaman serangan bagi kami," ucapnya.
"Itu membuat (pemain-pemain) kami lebih sulit dijaga, dan lebih sulit diprediksi. Bagaimanapun, kami juga memerlukan sisi melebar di permainan, maka ini tidak selalu terjadi di antara garis-garis."
"Ini mengenai memberi pelebaran kepada tim dengan baik. Ini tidak akan menjadi perubahan-perubahan radikal, tak terelakkan lagi, kami akan sedikit mengubah cara bermain dengan integrasi pemain-pemain baru kami."
Di Matteo paham bahwa kesuksesan musim lalu merupakan 'kegembiraan sekali seumur hidup' yang dipicu oleh hasrat sekelompok pemain yang sudah memasuki masa senja.
Namun Abramovich telah menetapkan target yang lebih tinggi pada musim ini, dan pria Italia itu tidak memiliki pilihan selain melakukan semua yang dapat diupayakannya untuk memenuhi hasrat Abramovich, hanya saja kali ini dengan lebih banyak 'gaya Katalan.'