Muhammad bin Abdil Wahhab
Pembaruan yang dipelopori Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350 M), terutama dengan tekanan pada pemurniannya.
Bahkan, tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras.
Kemunduran dunia Islam, baik dalam lapangan keagamaan maupun politik dan peradaban, pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia, sungguh meluas dan berlangsung beberapa abad.
Umat Islam tertidur lelap dalam kejumudan dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah gerakan pembaruan fase kedua. Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu (abad ke-18) ialah gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejd, Arab Saudi.
Munculnya gerakan Wahabiyah ini tidak terlepas dari kondisi umat Islam di wilayah Jazirah Arab saat itu yang mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik yang dianggap telah muncul sifat-sifat kemusyrikan, bid’ah, dan takhayul.
Hal ini sebagai akibat dari semakin jauhnya spirit Islam dari sumbernya yang asli. Selain itu juga karena pengaruh dari praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih menekankan pada pemurnian yang lebih praktis dan cenderung keras.
Jamaluddin Al-Afghani
Pada periode selanjutnya, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru lainnya, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1797 M).
Ia merupakan sosok pembaru yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Al-Afghani hijrah dari satu negara ke negara lain, dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan keguncangan politik. Antara lain di Afghanistan, India, Mesir, Turki, Makkah, Inggris, dan Prancis.
Saat menunaikan haji, Al-Afghani tergerak oleh suasana menyatunya umat Islam seluruh dunia. Dari situ, lahirlah gagasan untuk menggerakkan Jami‘ah Islamiyyah, yang merupakan ikhtiarnya untuk mempersatukan umat Islam sedunia yang oleh para ahli Barat kemudian disebut Pan-Islamisme.