Fikih Al-Maun: Konsep Pembebas bagi Kaum Tertindas
Semangat pembaruan Islam yang dikampanyekan oleh para tokoh pelopor gerakan kebangkitan Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merambah hingga ke Indonesia.
Ketika wilayah Nusantara masih berada dalam kungkungan penjajahan Belanda, kehidupan masyarakat dan umat Islam yang terjajah, bodoh, tertindas, memaksa sejumlah intelektual dan cendekiawan Indonesia untuk melakukan sebuah gerakan pembebasan dan pembaruan.
Di awal abad ke-20 gagasan dan pemikiran para tokoh tersebut secara tidak langsung diserap oleh para kaum intelektual Muslim yang bermukim di Pulau Jawa. Salah seorang di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan, yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 M.
Melalui lembaga Muhammadiyah yang didirikannya, Kiai Ahmad Dahlan mencoba melakukan pembaruan terhadap pemahaman keislaman di Tanah Air.
Apa yang telah dirintis oleh Ahmad Dahlan di kemudian hari dilanjutkan oleh para penerusnya, seperti KH Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Buya Hamka, dan KH AR Fakhruddin.
Bahkan, di abad ke-21 ini, memasuki Satu Abad Muhammadiyah, para intelektualnya melakukan sebuah terobosan yang cemerlang dalam upaya mencerdaskan rakyat, menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dan berbagai macam penindasan dan kebodohan. Itulah konsep Fikih Al-Maun.
Mengapa konsep ini yang kemudian dikembangkan? Karena adanya pandangan bahwa umat Islam yang sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak rakyatnya yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh.
Karena itu, penyelesaian masalah pokok tersebut, harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi.