Muhadjir Effendy, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, mengatakan, yatim dalam Alquran, seharusnya sudah tidak dimaknai lagi dengan orang yang kehilangan ayah atau kedua orang tuanya (yatim piatu).
Tetapi, maknanya adalah orang yang tidak mampu lagi dalam memaksimalkan potensi dirinya untuk berdaya. Mereka bisa saja masih memiliki kedua orang tua, namun tak bisa mengembangkan kreativitas untuk maju.
Konsep Fikih Al-Maun yang pernah dikembangkan KH Ahmad Dahlan sejak awal mendirikan Muhammadiyah ini, dalam banyak pengamatan peneliti seperti Deliar Noer (1973) dan A Jainuri (1999), berhasil membawa warga Muhammadiyah semakin gigih dan bersemangat membebaskan para mustad’afin (orang-orang yang lemah) dari ketertindasannya.
Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumah sakit, sekolah, dan lembaga sosial.
Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani, dosen Universitas Paramadina Jakarta, dalam artikelnya yang berjudul ‘Dari Teologi Mustadl’afin Menuju Fiqh Mustadl’afin, gerakan pembaruan dan pengembangan konsep Amal Al-Maun yang dikembangkan Amien Rais, Syafi’i Maarif, bahkan Din Syamsuddin, belum mampu menyosialisasikan gagasan tauhid sosial ini secara maksimal.
Apa yang dilakukan Syafi’i Ma’arif, tulis Burhani, dalam memelopori gerakan antikorupsi dengan semangat keagamaan, kendati sempat diikuti, namun akhirnya berhenti pada tataran diskursus.
Gerakan antikorupsi tak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia. Mengapa ini semua terjadi? Salah satu jawabanya adalah karena semua gagasan itu hanya berhenti pada tataran teologi, tidak diejawantahkan dalam bentuk fikih.
Bagaimana konsep Fikih Al-Maun ke depan, mampukah ia menjawab berbagai persoalan umat, dan gerakan pembaruan Muhammadiyah di abad kedua ini? Tentu layak untuk ditunggu.