REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar menolak membentuk Komisi Kebenaran untuk menyelidiki keterlibatan militer dalam konflik yang melibatkan warga Buddha Arakan dan Muslim Rohingya, di Negara Bagian Rakhine Myanmar.
Sebelumnya delegasi HAM PBB Tomas Ojea Quintana pada awal Agustus, melakukan pemetaan konflik etnis yang terjadi di bagian barat negara itu. Menurut Tomas perlu untuk membentuk Komisi Kebenaran secara independen untuk mengungkapkan peristiwa berdarah itu.
Komisi Kebenaran, kata dia harus melibatkan orang-orang netral didalamnya, termasuk Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR). Quintana juga mendesak tim investigasi untuk mengungkap dan menyelidiki keterlibatan militer dalam konflik yang menewaskan 78 orang (versi pemerintah), Juni lalu.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Myanmar Win Mra, kepada Voice of America mengatakan tidak ada kebutuhan untuk melakukan hal tersebut, dan menilai tuntuan internasional terlalu berlebihan. Menurut dia, pemerintah sudah cukup melakukan investigasi penyebab 'sentimen antar etnis' itu. '
'Kesimpulan utusan PBB (Quintana) adalah bias,'' kata Mra, seperti dikutip laman berita Mizzima, Jumat (17/8).
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Indonesia Ifdhal Kasim meyakini keterlibatan militer Myanmar dalam kasus penindasan terhadap Muslim Rohingya. Bahkan kata dia, militer sengaja menjadi sponsor tunggal dalam konflik komunal itu.
Menurut dia, dugaan pemerkosaan yang dijadikan pemantik dari pertikaian antar etnis yang terjadi awal Juni tersebut, tak lain merupakan manipulasi pemerintah semata.
Pemerintah Myanmar, tuding dia, telah memanfaatkan etnis Buddha sebagai alat untuk mengusir etnis Muslim Rohingya karena tak dianggap sebagai warganegara. ''Kami ragu atas independensi Komnas HAM Myanmar, maupun tim yang dibentuk pemerintahnya,'' kata Ifdhal, Sabtu (4/8).