REPUBLIKA.CO.ID, Ilmuwan Islam kelahiran Khwarizmia, Al-Biruni menuturkan, sejak abad ke-4 hingga 8 M, tanah kelahirannya dikuasai Dinasti Afrigid.
Khiva atau Urgench Tua menjadi pusat pemerintahan kerajaan itu sejak tahun 410 M. Pamor Khwarizmia kian kinclong secara internasional sejak wilayah itu menjadi bagian dari Jalur Sutra.
Agama Islam mulai bersemi di Khwarizmia sejak awal abad ke-8 M. Umat Muslim menguasai wilayah itu pada tahun 712 M di bawah pimpinan Kutayba Ibnu Muslim Al-Bahili—seorang letnan Gubernur Besar Khurasan, Al-Hadjadj bin Yusuf.
Islam memasuki Khwarizmi secara bertahap, laiknya proses berkembangnya agama Allah SWT itu di Khurasan dan Tansoxiana.
Memasuki awal abad ke-10 M, Khwarizmia memiliki dua ibukota. Di wilayah yang termasuk dalam kawasan Persia ibukotanya berada di Jurjaniyah atau Gurganj.
Sedangkan, wilayah Khwarizmi yang terletak di sebelah Timur Turki beribu kota Kath. Para geografer abad itu mendeskripsikan Khwarizmia sebagai wilayah yang sangat dingin, namun perdagangan dan bisnisnya justru berkembang pesat.
Tak heran, jika rakyat di negeri itu hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Geografer abad ke-10 M, Ibnu Fadlan memaparkan bukti melimpah-ruahnya kekayaan negeri Khwarizmia.
Menurut dia, ketika akan melakukan ekspedisi, Raja Bulghars, dari Gurganj—ibukota Khwarizmia yang berada di Persia—berangkat 5.000 orang dengan menumpang 3.000 ekor unta.
Rakyat Khwarizmia menikmati kemakmuran dan kekayaan dari beragam hasil bumi dan industri yang berkembang pesat pada era kejayaan Islam itu. Sumber kemakmuran itu berasal dari aneka buah-buahan, karpet, kain brokat bercampur kapas serta kain sutera.
Selain berkembang pesat secara ekonomi, Khawarizmia pun menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan peradaban.