REPUBLIKA.CO.ID, YONGON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengharapkan intimidasi dan kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingya dihentikan. Duta Besar AS untuk Myanmar, Derek Mitchell mengatakan, Pemerintah Myanmar juga harus mendukung kewarganegaraan dan hak-hak sipil bagi Rohingya.
Bukan hanya bagi Rohingya, Mitchell mengatakan kekerasan dan pengakuan terhadap etnis minoritas lainnya harus dilakukan. Pemerintahan di Washington, kata dia, prihatin dengan konflik yang menyeret etnis Buddha Arakan dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine itu.
''Konflik tersebut sangat mengejutkan, dan menyebar sangat cepat,'' kata dia, seperti dikutip The Wall Street Journal, Jumat (14/8).
Menurut dia tidak ada tawaran atas sikap intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan satu negara terhadap warganya sendiri, maupun dari warga terhadap warga lainnya. Kata dia, konflik tersebut berasal dari warga terhadap warga lainnya, yang menyangkal hak hidup Rohingya di negara tersebut.
Konflik yang menewaskan 78 orang (versi pemerintah) itu, kata dia bukan alasan bagi AS untuk memberikan sanksi tambahan terhadap pemerintahan junta militer tersebut. Namun kata dia, hubungan yang baru antara Gedung Putih dan Nay Phi Taw adalah tantangan yang baru.
Dari Rakhine sedikitnya 60 orang telah dijatuhi hukuman karena melanggar jam malam di zona konflik tersebut. Mereka yang tertangkap berasal dari etnis Buddha Arakan, dan diancam dengan penjara selama enam bulan oleh Pengadilan Pidana Rakhine.
Dakwaan lain juga dijatuhkan bagi 10 orang etnis Rohingya karena dituduh melakukan penghasutan dan kekerasan selama massa konflik tersebut. Mereka terang pengadilan harus menjalani hukuman minimal 10 tahun.
''Sekitar 800 orang termasuk anggota Partai Pembangunan Rakhine (RNDP) ditangkap. Tetapi hanya segelintir yang menghadapi tuduhan,'' kata anggota komite sentral RNDP San Hla Kyaw, seperti dikutip media Myanmar, Irrawaddy, Jumat (24/8).