Sabtu 25 Aug 2012 06:35 WIB

Orang Kafir pun Percaya Tuhan

Berdoa (ilustrasi)
Foto: X02867
Berdoa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Riawan Amin

“Karena itu, janganlah  kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS 2: 2)

Seorang anak bertanya kepada bapaknya, “Ayah, percayakah kafir Quraisy kepada Allah? Jika tidak, mengapa ayah Rasulullah, bernama Abdullah,  sang hamba Allah?”

Ternyata pengikut Allah bukan monopoli yang mengaku beriman. Kafirpun percaya dan mengikut kepada One Supreme being, Satu Tuhan Utama. Pencipta (Khalik)  dan pengatur (Rabb)  alam semesta.

Dari awal umat Islam  diajarkan Syahadat  Tauhid, Laa  Ilah (tidak ada Tuhan) sebagai penafian kepada Ilah-ilah atau tandingan-tandingan.  Dilanjutkan illallah (kecuali Allah ), yang merupakan   peneguhan kepada satu-satunya Pencipta dan Penguasa.

Ujian  yang sama berlaku hari ini. Pintu-pintu  syirik terbuka bukan melalui penentangan kepada Allah sebagai Ilah, bukan karena lemahnya ruh illallah. Tetapi melalui peneguhan Ilah-ilah lain tandingan Allah, melalui lemahnya ruh Laa Ilah.

Ada sebagian yang menyebut diri Muslim Indonesia, Muslim Sunda, Jawa, Melayu  dan lain-lain. Yang sebetulnya memenuhi kualifikasi sebagai Kafir Indonesia, Kafir Sunda, Kafir Jawa dan lain-lain. Mengapa? Sebab  prilaku mereka  mirip Kafir Quraisy,  yakni membesarkan Ilah-ilah selain Allah.

Keris, harta, tahta, dukun, ajengan bahkan Ilah-ilah  yang bersembunyi di balik jubah keislaman. Di balik khadam dan ajian, adalah The New Lata, Uza dan Hubbal – berhala-hala yang disembah oleh kaum Kafir Quraisy.  Demikian pula Ilah waktu membayar joki  di Masjidil Haram, mendesak, menyikut saudara seiman demi mencium sebuah batu hitam bernama Hajar Aswad. Padahal, mencium Hajar Aswad hukumnya adalah sunnah, sedangkan menghormati dan menjaga sesama Muslim hukumnya wajib.

Makan siang di bulan Ramadhan adalah peng-Ilah-an kepada perut sendiri. Demikian pula kecanduan nasi, sampai berkata belum buka  atau belum makan,  jika belum nasi. Inilah contoh peng- Ilah-an, yang membuat negara selalu kekurangan dan harus impor beras. Konsumsi beras rakyat Indonesia sudah mencapai sekitar 130 kg/kapita/tahun, sedangkan idealnya sekitar 80 kg/kapita/tahun. Padahal di Indonesia  begitu banyak nikmat Allah dalam bentuk lain, umbi-umbian, pisang, jagung, sagu, dan buah-buahan  sebagai alternatif  kecanduan nasi atau beras tersebut.

Tak ada prilaku buruk,  bahkan  yang kelihatan baik --  dari korupsi sampai  sedekah karena riya --  yang tak luput dari campur tangan kemusyrikan. Korupsi demi  anak cucu adalah peng –Ilah-an kepada keturunan. Riya adalah pengilahan kepada diri sendiri.

Tak heran jika syirik begitu samar. Laiknya semut hitam, di atas batu hitam, di malam yang sangat kelam. Alquran bertabur dengan ratusan ayat  yang mengingatkan umat manusia akan bahaya syirik, larangan berbuat syirik, sebab-sebab syirik dan  bentuk-bentuk kemusyrikan.

Ramadhan dan Idul Fitri yang baru saja berlalu merupakan momentum bagi umat Islam untuk meneguhkan kalimat Laa Ilaha illallah.  Sesungguhnya shalatku, ibadahku, shaum ku, hidup dan matiku bagi Allah. Wa maa anaa minal kaafirin. Jadikan aku ya Allah bagian dari pengikut-Mu, yang bukan kafir. Wallahua’lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement