REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri
Dalam shalat kita memanjatkan doa kepada Allah. “Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yakni, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang sesat.” (QS al-Fatihah [1]: 6-7).
Siapakah orang-orang yang telah diberi nikmat itu? Allah SWT mempertegasnya dalam surah an-Nisa’ ayat 69, yakni an-nabiyyin(para nabi), ashshiddiqin( orang-orang yang benar dan jujur), asy-syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan ash-shalihin(orang-orang saleh).
Tentu saja, kenikmatan yang mereka peroleh tidak pada bendawi, tapi nikmat iman dan Islam. Itulah nikmat yang paling tinggi nilainya. Nikmat yang menjadikan segala nikmat duniawi menjadi berharga dan maslahat. Jika tanpa nikmat iman dan Islam, semuanya bisa menjadi malapetaka yang menjerumuskan.
Sungguh nikmat Allah SWT begitu banyak tak terhingga. Sekiranya kita menghitung, tak sanggup menghitungnya. Karena itulah, Allah SWT tak menyuruh kita menghitung, tapi bersyukur. (QS [2]: 152,172, [31]: 12). Kenyataannya, sedikit sekali manusia yang bersyukur. (QS [7]: 10, [14]: 34, [23]: 78, [67]: 23). “Lalu nikmat Tuhanmu mana lagi yang kaudustakan?” Sebanyak 31 kali diulang dalam surah ar-Rahman.
Ada tiga kategori kenikmatan yang sekaligus menjadi tingkatan yang ingin diraih manusia. Pertama, kenikmatan fisik. Kategori ini paling rendah dan menjadi kebutuhan dasar manusia ( basic needs). Kenikmatan fisik (material) berhubungan dengan jasmaniah, yakni makan dan minum (termasuk buang hajat), harta, tidur, dan seks. Tidak jauh dari sejengkal dari pusar ke atas (perut) dan ke bawah (kemaluan).
Kedua, kenikmatan sosial. Kalau manusia meraih nikmat fisik, berarti dia telah memperoleh kelezatan dunia wi (lazaat) yang sifatnya individual. Tapi, dia belum meraih kebahagian ( assa’adah). Sebenarnya, binatang juga tidak bisa hidup tenang hanya dengan fisik belaka. Mereka membutuhkan keluarga dan komunitas (sosial). Demikian pula manusia. Nikmat sekali hidup seorang yang masih punya istri/suami, orang tua, anak, anggota keluarga, sahabat, dan tetangga yang baik. Jika tak bertemu, rasa rindu tak terkira. Keletihan dan penderitan sepanjang mudik pada Hari Lebaran terabaikan.
Ketiga, kenikmatan spiritual. Ketika seseorang memiliki harta, kedudukan, sehat, rumah yang indah, kendaraan yang bagus, istri dan anak yang saleh, peduli pada tetangga dan kaum dhuafa, serta mustadh‘afin. Masya Allah, nikmat sekali hidupnya. Tapi, kedua kenikmatan tersebut masih nisbi dan bisa hilang tak berbekas dalam sekejap. Kedua kenikmatan itu akan lebih bermakna lagi jika kita meraih kenikmatan spiritual.
Kenikmatan spiritual bersifat ruhaniah (ilahiah) yang didapat ketika seseorang berhasil membersihkan hati, pikiran, dan perbuatannya dari segala macam keburukan (QS [91]: 9-10). Sehingga, cahaya ilahi merasuk ke dalam kalbu, pikiran, dan perbuatan.
Dia akan merasakan nikmat menjalani keadaan apa pun. Musibah bukan lagi derita, melainkan jalan bahagia. Tidak hanya merasa nikmat ketika lapang, tetapi dalam derita dan perjuangan. Wallahu a’lam.