REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Suriah menyebutnya mereka adalah 'pemberontak', perongrong utama penguasa yang menghendaki tumbangnya Presiden Bashar al-Assad. Padahal sebelumnya mereka hanya penduduk biasa, menjalani kehidupan yang wajar dan memiliki impian perdamaian sepanjang hidupnya.
Akan tetapi siapapun tak menduga, keinginan geopolitik memaksa mereka mengangkat senjata, dan terlibat dalam peperangan saudara, atau mengungsi. ''Kami terus berkata damai, damai. Tapi itu tidak dapat bekerja,'' kata Mohammed Sami, kepada Alarabiya.
Sami adalah pria muda berumur 22 tahun, semula dia hanyalah seorang tukang cukur. Dia meminta ayahnya untuk berinvestasi di kota kecil, sebelah utara Damaskus. Bersama seorang teman dia memilih untuk meneruskan keahliannya sebagai pencukur rambut. Setelah aksi perlawanan dimulai, banyak dari penduduk yang tidak memihak. Namun hal itu tidak membuat aman. Penduduk terpaksa memilih memihak yang mana, tentara pemerintah atau oposisi.
Suatu hari terang dia, pasukan oposisi menyisir gedung pertokoan di bagian utara Suriah. Mencoba untuk berempati, dia pun memasang bendera revolusi di dinding tempat dia bekerja. Ketersinggungan tentara pemerintah membuat tempat usahanya dibakar. ''Segara (setelah itu) saya bergabung memberontak,'' kata dia.
Dalam kelompoknya beragam profesi ada, mulai dari ahli gigi, pemotong daging, pekerja konstruksi, hingga seorang mahasiswa dan intelektual. Tapi semuanya dianggap pemberontak bersenjata, dan pembelot bagi pemerintah. Tukang cukur ini mengharapkan agar kehidupannya kembali berjalan secara normal, kelak. Kehidupan lama sebelum pecah perang, kata dia jauh lebih baik.
Meskipun ia berkeras kehidupan mendatang harus berbeda tanpa rezim. Keinginan itu juga dikatakan Ahmed al-Saleh. Dia memiliki keinginan yang kuat untuk bergabung dengan kepolisian, tentunya kata dia setelah rezim runtuh. Sebelum aksi oposisi ini, pemuda ini menginginkan untuk seolah di universitas. Akan tetapi urung dijalankan sebab dukungan ekonomi tak memungkinkan.
''Saya bekerja dekat perbatasan Turki dengan gaji 270 dolar AS perbulan,'' kata Ahmed. Belum genap sebulan dia bergabung dengan tentara oposisi. Tapi harapannya untuk membuat kampung halamannya kembali pulih adalah harapan semua warga. ''Saya meminjam seribu dollar AS untuk membeli Kalashnikov,'' ujarnya.