REPUBLIKA.CO.ID, WINA - Lembaga pengawas nuklir PBB telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) mengenai Iran guna menangani pemeriksaan dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan atom kontroversi Republik Islam itu. Demikian satu dokumen intern IAEA, Rabu (29/8).
Pengumuman singkat tersebut oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), disampaikan kepada staf lembaga tersebut. Pengumuman itu tampaknya menjadi upaya untuk memusatkan perhatian dan cara IAEA menangani fail sensitif Iran dengan memusatkan para ahli dan sumber daya lain pada satu unit, demikian laporan Reuters.
Badan PBB yang berpusat di Wina itu, yang secara rutin memeriksa lokasi nuklir Iran, telah menyuarakan keprihatinan yang meningkat selama setahun belakangan mengenai kemungkinan dimensi militer pada program nuklir Iran. Teheran menyatakan program nuklirnya semata-mata bertujuan damai.
Sementara itu negara Muslim dan Israel diduga akan saling berhadapan dalam pertemuan nuklir badan 154-negara, IAEA, pada September sehubungan dengan satu gagasan Arab untuk mengecam program atom rahasia Israel.
Para utusan Barat telah mendesak negara Arab agar tidak mencerca Israel sehubungan dengan dugaan simpanan senjata nuklirnya dalam konferensi tahunan badan atom PBB. Mereka khawatir itu dapat membahayakan "upaya lebih luas bagi Timur Tengah yang bebas senjata nuklir", kata beberapa diplomat.
Dokumen yang diajukan bagi pertemuan tersebut memperlihatkan negara Arab mengupayakan kecaman terhadap Israel --tindakan yang dikatakan negara Yahudi itu sebagai tontonan yang "mengalihkan perhatian dari bahaya nyata bagi perdamaian di Timur Tengah --Iran".
Dalam meminta pertemuan IAEA pada September untuk mencerca Israel, Jordania menyatakan Israel bersalah karena menggagalkan semua gagasan untuk membebaskan wilayah Timur Tengah dari senjata pemusnah massal, dan terutama senjata nuklir.
Sebaliknya Israel memperingatkan gagasan Arab tersebut "melayani upaya Iran guna mengalihkan perhatian masyarakat internasional ... (dari) upayanya untuk memiliki senjata nuklir".
Israel diduga banyak pihak sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata semacam itu. Namun Tel Aviv menolak untuk mengkonfirmasi atau membantahnya, dan mempertahankan kebijakan resminya yang tidak jelas yang, ditambah dengan kebuntuan sehubungan dengan tuntutan Palestina, menambah tegang keadaan di wilayah tersebut.