REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar menyebutkan korban tewas akibat konflik antara muslim Rohingya dan etnis Rakhine di negara bagian Rakhine sejak awal Juni tahun ini berjumlah 78 orang. Namun, sebagian penduduk muslim di Kota Yangon menyebutkan angka yang jauh berbeda.
Menurut Rahman Al Amin (bukan nama sebenarnya), penduduk Kota Yangon yang berasal dari etnis Burma mengatakan, hampir semua orang di Myanmar tahu bahwa jumlah korban tewas versi pemerintah ditutup-tutupi. Namun, tak ada orang yang berani menyanggah jumlah korban tewas versi pemerintah tersebut.
"Semua orang tahu di sini pemerintah tak jujur. Tapi tak ada yang bisa berbuat apa-apa," kata Rahman dalam bahasa inggris yang ditemui di salah satu sudut Kota Yangon, Rabu (29/8). Pria berusia 32 tahun dan pernah bekerja selama empat tahun di Riyadh, Arab Saudi itu mengatakan, berdasarkan informasi yang ia terima dari komunitas muslim.
Jumlah korban tewas dari pihak etnis muslim Rohingya mencapai ribuan orang. "Etnis Myanmar menjadi korban yang paling besar," kata Rahman tanpa menyebut berapa rincian jumlah muslim dan etnis Rakhine yang tewas. Rahman yang bapak dan ibunya asli etnis Burma tersebut menambahkan, jumlah tersebut bukan merupakan rangkaian konflik yang terjadi sejak lama. "Ini akibat konflik yang baru saja terjadi," katanya.
Abdul Ghaffar (36 tahun, juga bukan nama sebenarnya), mengatakan dalam bahasa Inggris, berdasarkan informasi yang ia terima dari rekan-rekan muslim di Rakhine, jumlah korban dari pihak muslim Rohingya mencapai angka 2.000 orang lebih. Namun, jumlah korban tewas dari etnis Rakhine tak mencapai angka 100 orang. "Muslim Rohingya korban terbesar," kata Abdul Ghaffar yang merupakan penduduk resmi Myanmar dan lahir serta tumbuh di Kota Myangdaw, Rakhine.
Konflik tersebut diduga dipicu setelah adanya peristiwa pemerkosaan seorang wanita dari etnis Rakhine oleh tiga orang pria etnis Rohingya. Berdasarkan keterangan pemerintah Myanmar, 78 orang tewas akibat konflik tersebut. Selain itu, sebanyak 3.000 unit rumah juga hancur.
Untuk meredam konflik, pemerintah Myanmar telah menerapkan aturan jam malam di beberapa wilayah Rakhine sejak 8 Juni. Pemerintah Myanmar juga menegaskan bahwa konflik yang terjadi di Rakhine bukan karena konflik agama. Tetapi, merupakan dampak dari peristiwa kriminal.