Pergerakan nasional
Disamping itu, dakwah juga dilakukan melalui media tulisan, yakni buku. KH Ahmad Sanusi juga membentuk sebuah perhimpunan yang diberi nama Al-Ittihadiat Al-Islamiyah pada 1931.
Perhimpunan ini bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, sekaligus menjadi wadah pergerakan nasional untuk menanamkan harga diri, persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan.
Pada 1934, KH Ahmad Sanusi dikembalikan oleh Pemerintah Belanda ke Sukabumi dengan status tahanan kota selama lima tahun. Kedudukan pengurus besar Al-Ittihadiat Al-Islamiyah pun dipindahkan ke Sukabumi.
Pada tahun yang sama ia mendirikan lembaga pendidikan Syams Al-Ulum, yang lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh, yang masih berjalan sampai sekarang.
Selain itu, ia juga menerbitkan majalah Al-Hidayah Al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan majalah At-Tabligh Al-Islami (Dakwah Islam) sebagai bahan bacaan dalam rangka dakwah secara lisan.
Pada masa kependudukan Jepang, Al-Ittihadiat Al-Islamiyah dibubarkan secara paksa oleh penguasa Jepang. Namun, sang pendirinya berhasil mengadakan konsolidasi dan mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Namanya juga tercatat sebagai wakil PUI dalam organisasi Masyumi.
Pada 1943, KH Ahmad Sanusi diangkat sebagai penasihat pemerintah Karesidenan Jepang. Namun, ia mengajukan satu syarat agar Al-Ittihadiat Al-Islamiyah bisa dihidupkan kembali setelah dibekukan pemerintah Jepang bersama-sama seluruh organisasi kemasyarakatan lainnya. Pada 1944, ia diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai wakil residen di Bogor.
Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, KH Ahmad Sanusi tercatat sebagai anggota panitia Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Namanya dicoret dari keanggotaan BPUPKI karena dianggap terlalu memihak Islam. Hal itu dilakukannya dengan tujuan agar kelak Indonesia merdeka menjalankan peraturan yang berdasarkan syariat Islam.