REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dessy Suciati Saputri
Sekolah Darurat Kartini yang didirikan oleh ibu guru kembar menjadi satu-satunya harapan bagi anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan. Mengenyam pendidikan di sekolah ini tidak akan dipungut biaya sepeserpun, karena ibu guru kembar, Rossy dan Ryan (63 tahun), yang menanggung semua biaya operasional.
Selama 22 tahun, sekolah gratis itu telah didirikan dan kini sudah terdapat sebanyak 618 siswa yang belajar di tempat pendidikan non-formal tersebut.
Pagi ini, Jumat (31/8) adalah hari pertama bagi siswa Sekolah Darurat Kartini untuk belajar setelah seminggu libur lebaran. Tampak sekolah yang berada di pinggir rel kereta api di Jalan Lodan Raya ini mulai dipenuhi oleh siswa yang berseragam batik serta rok atau celana biru.
Anak-anak tersebut tampak ceria memasuki ruangan kelas yang bersekat papan. Satu ruangan besar dan lebar berukuran sekitar 10x40 meter persegi tersebut terbagi menjadi beberapa kelas yang hanya dibatasi dengan papan berukuran setengah badan orang dewasa.
Memang sekolah tersebut tidak seperti sekolah-sekolah pada umumnya, karena semua siswanya berada dalam satu ruangan untuk dapat belajar. Ruangan kelas tersebut digunakan untuk mengajar anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Bisingnya suara kereta api yang melintas persis di belakang sekolah mereka tidak membuat mereka putus asa dan terganggu untuk belajar. Bahkan mereka terlihat gembira dan antusias ketika bertemu dengan teman kelasnya.
Bagi anak-anak PAUD dan sekolah dasar, mereka masih ditemani orang tua. Ibu mereka turut membantu mereka belajar dan menenangkan anaknya jika menangis.
Sayangnya, di hari pertama mereka masuk sekolah ini, mereka harus mempersiapkan diri untuk mencari tempat baru bagi sekolah mereka. Pasalnya, pada 9 September mendatang, Sekolah Darurat Kartini harus segera pindah. "Sekolah ini akan direlokasi besok tanggal 9, namun lokasinya masih diperdebatkan," kata Rossy.
Lokasi yang ditempati oleh Sekolah Darurat Kartini sekarang ini adalah lahan milik PT KAI. Sehingga mereka harus terpaksa memindahkan sekolahnya. "PT KAI menjanjikan akan merelokasi sekolah ini di tanah milik PT KAI juga, yakni di tanah kosong yang kini ditanami sayur tak jauh dari lokasi semula. Namun, terdengar kabar juga mereka akan dipindahkan kembali ke kolong jembatan tol Lodan.
Menurut mereka, jika sekolah gratis ini akan dipindahkan ke kolong jembatan, tidak baik bagi perkembangan anak-anak. "Di kolong jembatan itu banyak tindakan-tindakan yang tidak bermoral terjadi. Dulu sebelum dipindahkan kesini anak-anak banyak melihat tindakan-tindakan yang tidak senonoh, masak sekarang mau dipindahkan ke sana lagi. Ya nggak mau. Lagi pula itu juga menyalahi aturan karena tidak boleh mendirikan bangunan di kolong jembatan," keluh Rossy.
Sri Rossyati (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian) memang mendedikasikan hidup mereka untuk pendidikan anak yang kurang mampu ini. Mereka tidak patah semangat untuk tetap mendirikan sekolah meskipun sudah berulang kali tergusur. Terhitung sudah lima kali sekolah tersebut digusur sejak 1990.
Mulanya, Sekolah Darurat Kartini yang dibangun untuk anak-anak tidak mampu ini didirikan di Pluit. Kemudian digusur dan pindah ke Ancol, Penjaringan, Kalo Jodo, dan juga Pinggiran Kereta Bandengan.
Menurutnya, sekolah ini tetap akan ia pertahankan karena menjadi wadah bagi anak-anak yang tidak mampu dan anak terlantar. "Mereka ini adalah anak-anak marginal dan sekolah ini adalah komunitas mereka. Jadi ya harus dipertahankan," ceritanya.
Hari pertama masuk sekolah mereka isi dengan kegiatan seperti pengajian dan halal-bihalal. Kemudian setelah siswa-siswa tersebut pulang, ibu guru kembar tersebut akan memindahkan dokumen-dokumen penting ke rumah mereka sebelum digusur. "Takutnya nanti dibakar, makanya mau dipindahkan dulu," ujar Rian.
Anis (10), siswi Sekolah Dasar di Sekolah Darurat Kartini ini mengaku sedih jika sekolah mereka akan digusur. "Sedih kalau digusur. Dari dulu kan udah digusur terus, nggak mau lagi digusur. Enak sekolah di sini. Kalau mau di kolong jembatan kan di tanah bukan di lantai," ceritanya.
Tidak hanya Anis, Sulis (10) juga merasakan hal yang sama. Ia mengaku gembira bersekolah di sekolah gratis ini karena segala kebutuhan pendidikan mereka sudah ditanggung. Seperti seragam, sepatu sekolah, peralatan sekolah (tas, buku, dan alat tulis) serta makan siang. Orang tua mereka yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, tukang kayu, dan kuli bangunan ini tidak mampu untuk membiayai pendidikan di sekolah negeri.
"Jangan sampai sekolah ini digusur. Sekolah ini sudah banyak membantu, bu guru kembar juga peduli sama rakyat kecil," kata Ida, orang tua siswa dari siswi Sekolah Darurat Kartini.