Ahad 02 Sep 2012 18:50 WIB

Tiga Kejanggalan Penembakan Teroris Solo

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: Hafidz Muftisany
Sejumlah anggota kepolisian mengumpulkan barang bukti dari lokasi baku tembak antara Densus 88 dengan terduga teroris di Jl Veteran, Tipes, Solo, Jumat (31/8) malam. Dalam baku tembak tersebut dua orang terduga teroris dan satu anggota densus 88 tewas tert
Foto: ANTARA
Sejumlah anggota kepolisian mengumpulkan barang bukti dari lokasi baku tembak antara Densus 88 dengan terduga teroris di Jl Veteran, Tipes, Solo, Jumat (31/8) malam. Dalam baku tembak tersebut dua orang terduga teroris dan satu anggota densus 88 tewas tert

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Densus 88 Antiteror Polri melakukan penggerebekan dan penangkapan terduga teroris di Jalan Veteran, Solo, Jawa Tengah, Jumat (31/8) malam. Dalam penangkapan tersebut diwarnai baku tembak yang mengakibatkan dua terduga teroris tewas dan satu anggota Densus 88 gugur.

"Tapi ada tiga kejanggalan dalam penyergapan terhadap orang-orang yang disebut sebagai teroris oleh polisi," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam rilis yang diterima Republika, Ahad (1/9).

Neta memaparkan kejanggalan pertama mengenai pistol yang disita dari terduga teroris yaitu jenis Bareta dengan tulisan Property Philipines National Police. Padahal Kapolresta Solo, Kombes Asdjima'in mengatakan jika senjata yang digunakan untuk menembak polisi di Pospam Lebaran yaitu jenis FN kaliber 99 milimeter.

Ia pun mempertanyakan apakah orang yang ditembak polisi yang diduga teroris itu merupakan orang yang sama dengan pelaku yang menembak polisi di Pospam Lebaran. Ia juga mempertanyakan apakah kemungkinan ada pihak lain sebagai pelakunya.

Kejanggalan kedua yaitu Bripda Suherman, anggota Densus 88 yang tewas tertembak di bagian perut. Menurutnya hal ini menunjukkan Bripda Suherman tidak sesuai dengan SOP dalam bertugas yaitu harus memakai rompi anti peluru.

"Pertanyaannya apakah benar pada malam itu ada operasi Densus 88? Jika benar, kenapa ada anggota Densus 88 bisa teledor dan bertugas tidak sesuai dengan SOP," ujarnya.

Kejanggalan selanjutnya, beberapa jam setelah penyergapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan Kapolri, Jenderal Timur Pradopo untuk segera meninjau Tempat Kejadian Perkara (TKP). Padahal dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, ia melanjutkan, hal ini tidak pernah terjadi.

Bahkan pada saat tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran, juga tidak ada perintah seperti itu. "Apakah SBY ingin membangun citra dan menarik simpati publik dari peristiwa Solo yang sempat memojokkan Jokowi (Wali Kota Solo) ini," jelasnya lagi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement