REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Eksekutif Serikat Petani Indonesia, Tedjo Pramono, menegaskan liberalisasi telah menjadi mesin pembunuh bagi para petani yang menyebabkan mereka tidak berdaulat atas dirinya.
Maraknya industri kepala sawit di Indonesia ternyata telah menyebabkan penderitaan jutaan petani kelapa biasa di India dan petani kedelai di Eropa.
"Mereka menjadi sama sekali tidak memiliki ‘bargaining position’ di tingkat internasional," kata Tedjo Selasa, (4/9), dalam seminar “Dampak Liberalisasi di Sektor Pertanian dan Pangan”. Seminar ini sendiri digelar di Makassar dalam rangka pra Munas dan Konbes NU.
Tedjo tidak setuju dengan model pertanian terspesialisasi di area lahan tertentu karena menyebabkan musnahnya keanekaragaman hayati di lahan tersebut.
Menurutnya, pertanian cukup memanen dari proses metabolisme alam, sementara proses spesialisasi menyebabkan diperlukannya pupuk, insektisida pembunuh serangga yang menyebabkan rusaknya tanah dan hancurnya biodiversitas.
Revitalisasi pertanian yang diterapkan di Amerika dan Eropa dan mulai diadopsi di Indonesia menurutnya tidak pas karena akan menjerumuskan dalam kehancuran.
“Kita harus keluar dari model yang ada, yang menyebabkan petani kecil tetap kecil dan terjadi akumulasi kapital pada pemilik modal,” papar Tedjo.
Munas dan Konbes NU yang akan dilaksanakan di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, diharapkan mampu menyelamatkan para petani. Terdapat tiga pilar pertanian untuk kehidupan. Pertama, reforma agraria, yaitu mencegah spekulasi dan akumulasi tanah pada sekelompok kecil orang, sementara banyak orang lain memerlukan untuk hidup.
Kedua adalah agro ekonologi, yaitu bertani semata memanen dari mekanisme alam dan terakhir adalah kedaulatan pangan. Dan yang ketiga, berani menolak impor pangan dengan menyediakan lumbung pangan, pangan untuk kehidupan dan pemulihan ekologi.
Dalam hal ini, pertanian keluarga harus menjadi sistem pertanian yang terbesar, sementara usaha industri cukup menjadi bagian yang kecil.