REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani mengambil alih kasus simulator SIM dari tangan kepolisian jika memang memiliki bukti yang kuat.
"KPK saat ini kalah cepat dari kepolisian. Polisi bergerak cepat, dan wajar dilakukan karena mereka ingin melindungi koleganya," ujar Neta di Jakarta, Selasa (4/9).
Dengan demikian, katanya, KPK akan kesulitan memeriksa para tersangka dan saksi karena sebelumnya sudah diperiksa oleh polisi. "Karena dalam dasar hukum kita, tidak ada satu kasus ditangani dua institusi."
Dia mengatakan selama ini kepercayaan masyarakat terhadap polisi amat rendah. Makanya wajar, ketika polisi menangani kasus itu, masyarakat sudah apriori. "Ada 21 kasus korupsi besar yang ditangani Polri, dan sekarang mandek," katanya.
Menurut dia, banyak pihak tidak yakin pengusutan kasus tersebut akan selesai jika ditangani oleh Polri.
"Solusinya, kalau KPK punya bukti yang kuat, ya mereka harus berani mengambil alih dan meminta bantuan DPR untuk memanggil kedua institusi, dengan tujuan menentukan siapa yang pantas."
Jikapun polisi yang menangani, KPK berhak melakukan supervisi jika ada kejanggalan yang terjadi dalam penanganan kasus itu, katanya.
Dalam kasus simulator SIM di Korlantas Polri, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Keempat tersangka itu yakni, mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo, Wakil Kepala Korlantas Polri nonaktif Brigjen Pol Didik Purnomo, dan dua swasta di antaranya Sukotjo Bambang dari PT Inovasi Teknologi Indonesia dan Budi Susanto dari PT Citra Mandiri Metalindo Abadi.