REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Permasalahan ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten Semarang tak ubahnya seperti ‘benang kusut’ yang rumit untuk diurai.
Di luar kebijakan makro ketenagakerjaan yang masih banyak dipersoalkan, daerah ini juga menghadapi masalah minimnya infrastruktur pengawasan hubungan industrial.
Tak pelak sistem supervisi—yang menjadi ujung tombak—untuk meminimalisir permasalahan industrial antara pekerja dan pengusaha pun melempem. Buntutnya, persoalan ketenagakerjaan seperti tidak akan pernah habis di Kabupaten Semarang.
Hal ini terungkap dalam Seminar Regional “Mengurai Benang Kusut Masalah Ketenagakerjaan di Kabupaten Semarang” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Wartawan Kabupaten Semarang, Selasa (4/9).
Kasi Kelembagaan dan Hubungan Industrial, Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Provinsi Jawa Tengah, M Sulchan, mengungkapkan secara makro di Kabupaten Semarang tetap rentan terhadap terjadinya permasalahan ketenagakerjaan.
“Karena jumlah perusahaan dan pekerja tak sebanding dengan jumlah pegawai—bagian hubungan industrial—untuk melakukan pengawasan dan mediasi permasalahan yang ada. Hal ini mengakibatkan pengawasan tidak bisa berjalan maksimal,” bebernya.
Ia memaparkan, jumlah perusahaan di Kabupaten Semarang mencapai 700-an lebih, yang terdiri atas perusahaan skala besar menengah dan kecil dengan jumlah 90.718 orang tenaga kerja. Namun, jumlah pengawas hanya ada 14 orang dengan tiga diantaranya bagian administrasi.
Artinya, hanya ada 11 petugas pengawas yang efektif turun ke lapangan. “Bagaimana mungkin pengawasan dapat berjalan optimal jika satu orang pengawas menangani 50 perusahaan lebih,” kata Sulchan.