Rabu 05 Sep 2012 16:51 WIB

Benang Kusut Ketenagakerjaan di Semarang (2-habis)

Rep: S Bowo Pribadi/ Red: Chairul Akhmad
Ribuan buruh saat berdemonstrasi menolak sistem kerja outsourcing (ilustrasi).
Foto: Antara/M Ali Khumaini
Ribuan buruh saat berdemonstrasi menolak sistem kerja outsourcing (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Di lain pihak, kalangan pengusaha melihat benang kusut masalah ketenagakerjaan lebih banyak dipicu oleh pemerintah sendiri sebagai pembuat kebijakan makro. Pemerintah justru kerap membenturkan buruh dengan pengusaha.

Menurut Wakil Ketua Bidang Advokasi APINDO Jawa Tengah, Agung Wahono, sebagai pembuat kebijakan makro, pemerintah justru kerap membenturkan buruh dan pengusaha. “Dari sinilah masalah ketenagakerjaan menjadi seperti benang kusut, yang sulit diurai,” jelasnya.

Ia mencontohkan, kebijakan tersebut adalah Permenaker No. 13 tahun 2012 tentang adanya penambahan komponen survei kebutuhan hidup layak (KHL) dari 46 komponenen menjadi 60 komponen. Baginya, ini berpotensi menimbulkan konflik antara buruh dan pengusaha.

Pemerintah, kata Agung, tidak perlu banyak mengatur permasalahan antara perusahaan dan pekerja. “Itu bukan cara untuk menyelesaikan masalah, tapi justru menciptakan masalah baru,” tegasnya.

Sementara Pengurus DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Semarang, Ari Munanto, justru mempertanyakan peran DPRD dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan.

Menurutnya, DPRD harus segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas dan melahirkan Perda sebagai payung hukum terkait ketenagakerjaan.

Banyak permasalahan yang ada di luar UMK dan THR, seperti lembur yang belum terbayarkan hingga outsourcing. “Kami memandang perlunya DPRD melahirkan Perda sebagai payung hukum ketenagakerjaan di wilayahnya,” ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement