REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Keberhasilan Kejagung menangkap 38 buron atau daftar pencarian orang (DPO) dianggap bukan prestasi luar biasa karena yang dicokok ialah penjahat kelas teri. Sementara buron kelas kakap tetap lepas melenggang.
Pandangan itu dilontarkan Indonesian Corruption Watch (ICW)."Itu fenomena menangkap teri melepas kakap," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson F Yuntho ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (6/9).
Pasalnya, kata dia, masih banyak koruptor kelas kakap yang masih berkeliaran bebas. Saat ini, Kejagung dengan kemampuan intelijennya bisa menangkap 38 buron namun mengapa buron kelas kakap belum ada yang ditangkap, ujarnya.
Kendati demikian, dirinya tetap memberikan apresiasi kepada Kejagung yang berhasil menangkap 38 buron tersebut. "Seharusnya sejak dahulu seperti itu dan harapannya agar lebih progresif lagi ke depannya," katanya.
Selain itu, kata dia, sebaiknya Kejagung juga mengumumkan siapa saja yang belum dieksekusi agar publik bisa memberikan informasi atau masukan. "Kita minta kejagung tidak kompromi dengan koruptor. Eksekusi paksa koruptor yang tidak kooperatif," katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung melalui Satuan Tugas Intelijen sampai Agustus 2012, menyatakan telah berhasil menangkap sebanyak 38 buron atau orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"Karena itu, saya mengimbau juga bagi buron lainnya untuk segera menyerahkan diri ketimbang hidupnya tidak tenang. Dan pada waktunya juga akan tertangkap, sebaiknya segera menyerahkan diri," kata Jamintel, Edwin Pamimpin Situmorang.
Seperti diketahui, ke-38 buron yang berhasil ditangkap atau diamankan Kejagung itu, mayoritas adalah kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh kejaksaan tinggi. Laman Kejagung, menyebutkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Selain tunggakan perkara, sedikitnya ada 12 orang terkait kasus korupsi masuk DPO.
Diantara 12 orang yang termasuk DPO tersebut, pegawai PLN Samarinda Bambang Sugiyanto yang terjerat kasus di pengadaan lahan gardu induk PLN di Pulau Atas, Samarinda. Ada juga nama Hermanus Selamet, kontraktor, yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi pembangunan tempat tinggal lahan transmigrasi di Tepian Langsat, Kutai Timur (Kutim).