Penciptaan Alam Menurut Musa bin Maimun
Beberapa penulis menganggap Musa bin Maimun sebagai seorang pemikir Yahudi yang utama, yang argumen-argumen dan teori-teorinya dirancang lebih banyak untuk kepentingan teologis daripada filosofis.
Karenanya, ia dianggap sebagai penulis yang mempertahankan dasar-dasar agama dan hanya sambil lalu bertindak sebagai seorang filsuf untuk membangun dan mengukuhkan kebenaran yang terbebas dari pengaruh luar.
Dalam hal penciptaan alam, sebagaimana ditulis Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam, Maimun tidak berpendapat bahwa para filsuf adalah salah di dalam memegangi pendapat keabadian alam.
Dia berpendapat, sebagaimana dituangkan dalam bagian bukunya yang bertajuk “Guide of the Perplexed” bahwa sementara ia masih dalam posisi ingin membuktikan kemungkinan penciptaan dari tiada (ex nihilo), dia tidak dapat membuktikan kebenarannya.
Begitu pula, menurut Maimun, para filsuf ini tidak dapat membuktikan keabadian alam dan kewajiban adanya dunia ini. Untuk sebagian besar, Maimun menggunakan pendekatan filsafat agama seperti yang digunakan Al-Ghazali.
Keduanya mempertentangkan seluk-beluk perinci daripada model emanasi dengan pemahaman tradisional tentang Tuhan sebagai Yang Mahakuasa dan segala hal yang berhubungan dengan ciptaan-Nya.
Argumen Maimun mengenai penciptaan alam adalah bahwa jika Tuhan diberi tempat metafisik, di mana Dia dapat melakukan kehendaknya seperti yang dikehendaki, prinsip-prinsip penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) harus diterima. Ia juga membolehkan pandangan Plato mengenai penciptaan alam diterima dari sudut pandangan agama.
Dalam pandangan Plato, satu-satunya perbuatan yang tidak dapat Tuhan kerjakan adalah menciptakan materi dari tiada, akan tetapi manakala materi itu ada, dia dapat melaksanakan seluruh tindakan perbuatan yang dikehendaki secara teologis, persis seolah-olah dia menciptakan alam semesta dari ketiadaan yang mutlak. Namun, Maimun tetap menolak uraian penciptaan yang mendukung penafsiran tentang ‘tiada’.