REPUBLIKA.CO.ID, Menurut tokoh yang hidup di abad ke-8 Hijriah itu, jika terhadap kafir sikap proporsional sangat ditekankan, tentunya seruan serupa juga lebih utama bagi sesama Muslim yang berbeda pendapat.
Hani mengatakan etika menghadapi ke nyataan berbeda berikutnya ialah mempertimbangkan dan menjaga maslahat, serta menghindari kerusakan.
Kaidah yang berlaku di syariat ialah menghilangkan segala bentuk kekisruhan, baik di tingkat internal ataupun eksternal masyarakat.
Selama berada di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW hidup di tengah-tengah keprofanan komunitas Arab jahiliah. Patung berhala masih banyak berdiri kokoh di sekitar Ka’bah atau di rumah-rumah mereka. Menyikapi kondisi itu, sebagai seorang yang bijak, Nabi tak lantas menghancurkan simbol-simbol kekufuran itu.
Demikian pula sikap bijak Rasulullah terhadap para munafik. Rasul sengaja membiarkan dan tidak membunuh mereka. Ini agar tak timbul persepsi dan opini negatif bahwa Nabi membunuh koleganya sendiri.
Penyikapan tersebut menunjukkan bahwa anarkisme, perusakan, main hakim sendiri, dan ragam jenis intimadisi lainnya terhadap lawan yang berbeda mestinya dihindari. Tindakan-tindakan antihukum itu, bila tetap dilakukan, bakal memicu kerusakan yang lebih besar. Dan ini bertentangan dengan kaidah syariat.
Dalam pandangan Ibnu Qayim Al-Jauziyah, penyelesaian atas kemunkaran memang dianjurkan dengan kebaikan agar berakhir positif. Namun, jika solusi atas tindakan mungkar itu justru memancing kerusakan yang jauh lebih besar maka lebih baik menahan diri.