REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha/ Laporan dari Vladivostok, Rusia
VLADIVOSTOK –- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, terorisme memiliki akar di Indonesia. “Mereka sudah ada sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001, bukan bermula sejak bom Bali pada 2002,” katanya, menanggapi pertanyaan wartawan, Ahad (9/9).
Menurutnya, ekstremisme bukan hanya ada di Indonesia tapi juga ada di negara lain. Selain itu, ekstremisme juga tak hanya terjadi pada satu agama tapi juga ada di agama lain. Walau demikian, ia mengakui ada proses radikalisasi yang menyebar di dunia setelah terorisme pada 11 September 2001. Juga setelah ada operasi militer di Afghanistan maupun di Irak. “Sejumlah negara memang tak tersentuh. Itu karena tak ada akar dan tak menjadi target,” ujarnya.
SBY juga menyebutkan bahwa terorisme di dunia memang tak kunjung selesai. “Tidak ada negara yang benar-benar bebas dari terorisme, entah di Timur Tengah, di Rusia, ataupun Filipina,” katanya. Hal ini penting untuk dipahami bersama. Apalagi akar terorisme banyak sekali seperti keterbelakangan, kebodohan, maupun kemiskinan. Namun demikian, katanya, pelaku terorisme juga ada yang dari kelas terdidik maupun kelas menengah.
Oleh karena itu, kata Presiden, pendekatan, strategi dan kebijakan yang ada untuk terus dijalankan. Pertama, melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan pendekatan persuasi dan bimbingan secara habis-habisan. “Saya berkali-kali meminta kepada pemuka masyarakat untuk secara gamblang, jelas, tanpa rasas takut dan malu-malu atau sembunyi-sembunyi untuk menjelaskan bahwa terorisme itu tidak dibenarkan,” katanya.
Kedua, katanya, tindakan pencegahan itu dilakukan secara riil di lapangan. Hal itu bukan hanya menjadi tugas kepolisian, intelijen, komando terotorial, kepala daerah, tapi menjadi tugas semua komponen masyarakat. “Tolong selamatkan rakyat kita karena yang menjadi korban rakyat kita sendiri,” ujarnya. Bahkan keluarga pelaku terorisme pun ikut menjadi korban. Orangtuanya, anaknya, maupun istrinya menangis karena tindakan pelaku teroris tersebut.
Menurutnya, masyarakat harus waspada, sensitif, dan melakukan kerja sama jika ada sesuatu yang ganjil. Sebagai contoh, ia menyebutkan papan Yayasan Yatim Piatu Pondok Pidara, yang tertera di depan rumah orang yang diduga menjadi pelaku terorisme di Depok.
“Ada tidak kegiatan anak yatim piatu di situ. Masyarakat curiga tidak? Jika semua waspada dan sensitif sebenarnya mudah dikenali,” katanya.
Presiden menyebutkan bahwa sebenarnya kepolisia sudah banyak melakukan pencegahan dan penggagalan aksi terorisme. Namun hal itu tak terekspose. Namun tetap saja sebagian tetap terjadi. “Karena itu tugas polisi untuk meneruskan melakukan pencegahan dan penggagalan,” katanya.
Untuk kasus Depok, katanya, ia sudah melakukan koordinasi dengan Menko Polhukam. Berdasarkan laporan, katanya, sebetulnya bukan rumah itu yang menjadi targetnya, tapia da sasaran lain.