REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, H.Machasin menyatakan dewasa ini kerap muncul konflik yang pada awalnya sebagai dampak ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi yang sering memanfaatkan sentimen keagamaan.
Pernyataan Machasin tersebut disampaikan ketika membacakan sambutan Menteri Agama Suryadharma Ali pada pembukaan simposium "Peran Strategis Pendidikan Agama dalam Pembangunan Budaya Damai" di Bogor, Senin malam (10/9), yang dihadiri peserta dari kawasan Asia Tenggara dan Australia.
Simposium itu sendiri berlangsung 10-12 September 2012, yang dinilai kalangan peserta sangat tepat berkaitan dengan maraknya aksi kekerasan atas nama agama dan lahirnya kelompok-kelompok garis keras.
Namun Machasin menolak bahwa acara tersebut diselenggarakan berkait maraknya aksi kekerasan dewasa ini. Sebab, simposium itu dinilai penting untuk membahas pengembangan budaya damai dan peran pendidikan agama yang menjadi isu internasional sejak dua dekade terakhir ini.
Budaya damai, kata dia, berdasarkan resolusi PBB tahun 1998, adalah suatu pendekatan untuk mencegah konflik dan kekerasan dan sebagai alternatif dari budaya perang dan kekerasan, yang didasarkan atas: pendidikan perdamaian, promosi pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, partisipasi ekonomi, toleransi, kebebasan informasi, dan pengurangan senjata.
Pemanfaatan sentimen agama, lanjut dia, bukan satu-satunya sumber konflik. Dewasa ini terdapat sejumlah permasalahan dalam bidang pembangunan agama, antara lain, kesenjangan antar-nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya.
Tingginya semangat keberagaman masyarakat pada satu sisi belum diimbangi dengan pemahaman yang memadai. Kesenjangan antarpengetahuan agama dan pengalamannya yang tercermin dalam sikap dan perilaku, katanya.