REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Labaik Allahumma Labaik. Panggilan haji kembali tiba. Mulai 21 September 2012, jamaah Haji Indonesia mulai diberangkatkan ke tanah suci Makkah dan Madinah.
Haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan. Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka’bah, simbol pemersatu umat Islam.
Dalam ritual haji, manusia diperlakukan secara sama dan adil, tanpa melihat ras, suku dan latarbelakang dunia lainnya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia adalah sama. Hak dan kewajiban mereka sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi.
Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji. Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji - yang merupakan puncak tertinggi ajaran rukun Islam – diungkapakan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk “menyaksikan” kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadasyat yang akan terus mengalir dan menjadi “milik” mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur (QS. Al-Hajj 22:28)
Secara etimologis, sebagaimana dikemukan Ibn Mandzur dalam kitabnya, Lisaan al-Arab, kata hajj antara lain berarti “menuju pada target tertentu” (al-qashd). Lebih spesifik lagi, al-Ishfahani dalam kitabnya, Mufradaat Alfaadz al-Qur`aan, menjelaskan pengertian hajj sebagai “menuju kepada target tertentu untuk dikunjungi” (al-qashd li al-ziyarah).
Dari situlah muncul istilah haji dalam Islam yang asal-muasalnya diambil dari kalimat hajj al-bait atau “berkunjung ke baitullah”, yaitu kunjungan khusus ke Masjidil Haram dengan tujuan menunaikan manasik haji (QS. Ali `Imran 3:97).
Ditilik dari segi filosofis makna kata (fiqh qiyaas al-lughah), kata hajj yang dibentuk oleh rangkaian tiga huruf dasar haa`jiim, jiim pada hakikatnya menunjukan simpul makna dasar yang menggambarkan “keberadaan sesuatu yang bisa dijadikan landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (ma u`tumida`alaihi) atau “berproses menuju landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (al-i`timaad).
Misalnya, kata hujjah yang memiliki arti dasar argumentasi (al-daliil) atau bukti kebenaran (al-burhaan). Begitu juga kata mahajjah yang berarti jalan terbuka yang arah-arahnya (al-thariiq al-jaaddah). Disebut demikian karena jalan tersebut bisa dijadikan sandaran untuk sampai pada alamat yang dituju. Atau kata hajj (al-syijaaj) yang memiliki arti memeriksa luka di kepala secara teliti, terfokus, dan penuh perhatian untuk keperluan pengobatan serta penyembuhan.
Jadi, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki bagi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia.. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda ke-mabrur-an setelah berhaji, diantaranya akhlak dan amal perbuatannya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Nilai-nilai kemabruran haji akan membawa virus positif kehidupan masyarakat yang lebih humanis, lebih berakhlak dan lebih beriman. Kita berharap, haji yang dijalankan para jamaah bukan sekadar haji ritual, tetapi haji yang membawa perubahan. Hal itu pula dilakukan para jamaah haji di masa perjuangan kemerdekaan. Bahwa nilai-nilai haji dari tanah suci menjadi spirit perjuangan melawan penjajahan kafir (Belanda).
Kita menginginkan hal serupa, bahwa para jamaah nantinya bisa membawa nilai-nilai spirit keislaman untuk menjadikan masyarakat yang berperadaban akhlak mulya dan selalu mendapat karunia dari Allah SWT.