REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 2 mencapai 6,4 persen. Hal itu menempatkan Indonesia berada di urutan kedua di dunia setelah Cina. Namun, keberhasilan tersebut dinilai belum diikuti di sektor lainnya.
Pengamat ekonomi, Drajad Hari Wibowo, menilai tingginya pertumbuhan ekonomi bukan berarti program pemerataan ekonomi pemerintah berhasil. Karena, menurut dia, banyak kebijakan sektoral pemerintah yang tidak pro pemerataan. Sehingga, pertumbuhan ekonomi pun didominasi sektor komoditas dan non tradable. "Kecuali perkebunan, sektor yang tumbuh pesat umumnya padat modal bukan padat karya," ujarnya.
Dia mencontohkan, kebijakan sektoral yang tidak propemerataan yakni kebijakan perdagangan Kementerian Perdagangan dan Pemda yang lebih menguntungkan ritel padat modal atau waralaba asing. Selain itu, tuturnya, kebijakan pertanian dan logistik pun kurang memberdayakan petani, peternak, dan nelayan.
"Ketika harga komoditas dunia anjlok, akibatnya rantai yang paling lemah terpukul adalah petani, peternak, dan nelayan," jelasnya.
Dalam nota keuangan RAPBN 2013, Presiden SBY menyatakan masih akan digenjot hingga 6,8 persen. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto yang meski berada di batas bawah (6,8 persen-7 persen), dinilai terlalu mewah bagi sebagian kalangan. Tim ekonomi presiden beralasan pertumbuhan ekonomi masih harus ditingkatkan demi memancing investor untuk menanam modal di Indonesia.