REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Fenomena hijrah menghinggapi berbagai profesi. Dari pesohor hingga ibu rumah tangga ramai-ramai berupaya untuk mendekat ke jalan agama sesuai Alquran dan Sunnah agar lebih dekat kepada-Nya. Tak jarang, konsekuensi hijrah pun membuat para pelakunya harus mengorbankan banyak hal. Tidak terkecuali harta.
Banyak yang sudah telanjur menyimpan tabungan dan deposito di bank konvensional kemudian mendapatkan bunganya. Padahal, mayoritas ulama yang dikukuhkan berbagai forum ulama internasional sepakat jika bunga bank konvensional termasuk riba yang diharamkan Allah SWT.
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menetapkan fatwa No: 02/DSN-MUI/IV/2000 ten tang Tabungan. Menurut DSN, tabungan terbagi menjadi dua jenis. Pertama, tabungan yang ti dak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi'ah. Syekh Yusuf Qaradhawi da lam Fatwa-Fatwa Komtemporer menjelaskan, ada empat macam sikap seseorang terhadap harta haram.
Pertama, menggunakannya untuk diri sendiri atau ke uarganya. Syekh Qaradhawi mengungkapkan, hal ini tidak di bolehkan. Dia menegaskan, status hukum bunga bank sama dengan semua harta yang diperoleh de ngan jalan haram. Ini bermakna jika orang yang mengusahakannya tidak boleh memanfaatkannya. Jika ia meman faatkannya, berarti memakan sesuatu yang haram. Menurut dia, sama peman faatannya jika digunakan un tuk membeli makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal atau membayar kewajiban baik sesama Muslim maupun non- Muslim.
Syekh Qaradhawi juga tidak membedakan kewajiban itu apakah kepada yang adil atau menyimpang (zalim). Dia mencontoh kan, penggunaan harta haram untuk kewajiban membayar pajak kepada pemerintah yang memang bermacam-macam keadaannya juga dilarang. Tidak juga untuk ke perluan membeli bahan bakar.
Kedua, membiarkan bunga tersebut untuk bank. Yusuf Qaradhawi pun menegaskan, sikap itu juga tidak dibenarkan. Apabila bank yang memungut bunganya, berarti justru akan memperkuat keberadaan bank ribawi dan membantunya untuk meneruskan program-program mereka. Menurut Qaradhawi, hal tersebut termasuk dalam kategori membantu kemaksiatan. "Sedangkan, membantu yang haram hukumnya haram sebagaimana saya jelaskan dari kitab saya al-Halal wal-Ha ram fil Islam," ujar Qaradhawi.
Ketiga, membebaskan diri daripadanya dengan merusak dan menghabiskannya. Menurut Qaradhawi, hal tersebut dikemu kakan oleh sejumlah ulama salaf, tetapi ditolak oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Imam Ghazali beralasan jika harta tersebut termasuk harta yang pemiliknya tidak tertentu sehingga sangat disesalkan jika dibekukan begitu saja.
Keempat, menggunakan harta itu untuk berbagai macam amal kebajikan. Sebagai contoh untuk fakir miskin, anak yatim, ibnu sabil, organisasi kemasyarakatan, dan dakwah Islam. Qaradhawi berpendapat, ini merupakan jalan yang rasional dan nyata.
Qaradhawi menjelaskan, ketika turun ayat-ayat Alquran dalam QS ar-Rum 1-3 yang memberitakan tentang kemenangan Romawi, Abu Bakar as-Shiddiq mengajak mereka bertaruh atas izin Rasulullah SAW. Ketika Allah SWT merealisasikan janji- Nya itu, Abu Bakar datang ke pada Nabi SAW dengan kemenangan taruhan itu. Akan tetapi, beliau bersabda: "Ini haram." Beliau pun menyedekahkannya sehingga orang-orang mukmin merasa gembira dengan pertolongan Allah itu — ayat yang mengharamkan judi turun setelah Rasulullah SWT memberi izin kepada Abu Bakar untuk bertaruh.
Dalil lainnya, yakni Atsar dari Imam Gazali mengenai kisah sa habat Ibnu Mas'ud. Beliau dikisahkan pernah membeli seorang budak perempuan, tetapi ketika mau membayarnya, Ibnu Mas'ud tak menjumpai pemiliknya. Dia sudah berusaha mencarinya, tetapi tak menemukannya. Dia pun menyedekahkan uang pembayaran itu.
Imam Hasan Ra juga pernah ditanya tentang tobatnya koruptor yang mengambil harta rampasan sebelum dibagi beserta status harta yang diambilnya setelah semua pasukan kembali ke rumah masing-masing. Maka beliau menjawab, disedekahkan. Meski demikian, salah satu ulama al- Azhar berpendapat, bunga itu bukan termasuk riba. Pendapat itu dinyatakan dalam bukunya berjudul "Muamalat al-Bunuk wa Ahkamuha as-Syar'iyyah".
Dasar pemikiran Sayyid Thanthawi adalah pada banyak hadis menyebutkan, Rasulullah SAW telah memberikan lebihan dari pokok utang kepada kreditur (orang yang meminjami) karena didorong oleh ungkapan terima kasih dan penghargaan. Sebagai mana hadis yang diriwayatkan da ri Jabir bin Abdullah ra, ia ber kata, "Rasulullah SAW pernah punya utang ke padaku, lalu beliau membayarnya lebih dari yang semesti nya." (HR al-Bukha ri Muslim).
Dari hadis itu, Sayyid Thanthawi menjabarkan, penambahan dan lebihan dari pokok utang, baik dalam bentuk uang, benda maupun hewan; baik dalam timbangan maupun ukuran, tidak mengapa diberikan, selagi pe nam bahan seperti itu muncul dari hati yang tulus, tanpa disertai syarat dan tidak disertai sesuatu yang haram, maka itulah yang di bolehkan sebab memang tidak ada larangan.
Lagi pula, hal itu ter masuk yang disinggung dalam firman Allah SWT. "Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitung an atas tiap-tiap sesuatu." (QS an-Nisa` [4]: 86).