REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Andin Hadiyanto mengatakan, penerbitan regulasi tarif sertifikasi halal masih menunggu dokumen petunjuk teknis (juknis) dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dua dokumen ini diharapkan dapat terbit bersamaan.
Sampai saat ini, Andin menjelaskan, juknis tersebut membahas mekanisme yang harus ditempuh industri untuk mendapatkan sertifikat halal. "Isinya lebih ke operasional, betul-betul meyakinkan bahwa kebijakan ini (wajib sertifikasi halal) adalah pro UMKM (usaha mikro kecil dan menengah)," ujarnya kepada Republika.co.id di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/1).
Andin memastikan, Kemenkeu terus mendorong penerbitan ketentuan tarif sertifikasi halal mengingat hal ini menjadi amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Nantinya, ketentuan tersebut akan tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Dalam PMK tersebut, pemerintah juga menentukan insentif yang diberikan kepada usaha mikro dan kecil. Tapi, Andin masih belum menyebutkan besarannya secara detail. Ia hanya mengatakan, kebijakan insentif itu tertuang dalam bentuk range tarif.
Andin menjelaskan, rencana penerbitan PMK dan juknis secara berbarengan ditujukan untuk memudahkan pengusaha saat mengajukan sertifikasi halal. "Nanti kalau PMK sudah terbit tapi juknis belum, mereka akan bingung. Makanya, kita garap inline," katanya.
Sebelum PMK mengenai besaran biaya tarif sertifikasi halal dirilis, Andin menyebutkan, besaran tarif sertifikasi halal mengikuti regulasi yang sudah ada. Ketentuan ini sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang JPH.
"Sebelum berlakunya peraturan mengenai besaran atau nominal biaya (re:PMK), proses pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan," tulis Pasal 81 PP 31/2019.