REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr Muhammad Sirajuddin Syamsuddin mengingatkan agar kebijakan terkait Omnibus Law tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945. Dia mengatakan Omnibus Law harus tetap pada komitmen kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat.
"Jangan sampai demi investasi dan penyederhanaan tapi menabrak nila-nilai dasar yang ada di UU Dasar. Kita tidak pada posisi su'udzon, menolak, menghalangi, tidak, tapi hanya mengingatkan," ujar dia saat di kantor MUI, Jakarta, Rabu (22/1).
Din kemudian mengutip penelitian disertasi di Universitas Padjajaran. Penelitian ini menyebut bahwa pada era reformasi ada 115 Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi sehingga jihad konstitusi pun dilakukan untuk melakukan judicial review. "Dan sekarang belum ada perbaikan," tutur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Dalam kesempatan itu, Din juga mengatakan, dari informasi yang beredar, sudah mulai ada gelagat atau gejala-gejala yang menabrak ketentuan-ketentuan yang sudah ada. "Dan tentu masyarakat termasuk umat Islam akan protes nanti jika ada ketentuan-ketentuan yang sudah baku kemudian ditabrak," jelasnya.
Sejumlah kalangan, kata Din, menilai Omnibus Law berpeluang memberi karpet merah pada investor asing dan mematikan pengusaha domestik. Jika ini yang terjadi, menurutnya, jelas keliru. Apalagi jika Omnibus Law itu hanya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menguasai bisnis dan investasi untuk kepentingannya sendiri.
"Bukan untuk rakyat, untuk kepentingan dia sendiri, miliknya sendiri. Ini harus betul-betul dicatat kalau itu terjadi," ucapnya.
Lebih lanjut, Din bersama Wantim MUI bakal mendalami Omnibus Law dengan mengundang pakar-pakar hukum. "Insya Allah akan dibahas lebih luas lagi dengan mengundang ahlinya pada rapat pleno ke-49 pada 12 Februari," imbuhnya.