REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah kalangan menilai PT PLN (Persero) tidak efisien menggunakan energi primer untuk memenuhi kebutuhan pembangkitnya. Meski pemakaian bahan bakar minyak (BBM) diklaim menurun, namun biaya pokok penyediaan (BPP) justru membengkak.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Agus Sulistyono mengatakan, ketidakefisienan pemakaian energi primer PLN sudah disampaikan Komisi VII dalam rapat baik dengan PLN maupun Menteri ESDM. “Namun, belum ada langkah konkret PLN untuk memperbaikinya,” katanya.
Indikasinya, beban subsidi listrik malah meningkat. Sesuai asumsi APBN Perubahan 2012, anggaran subsidi listrik Rp 64,97 triliun, namun realisasinya hingga akhir tahun bisa di atas Rp 90 triliun. “BPP (biaya pokok penyediaan) juga terus membengkak,” ujarnya.
Dalam APBN Perubahan 2012, BPP ditetapkan Rp 1.152 per kWh. Namun, BPP dalam RAPBN 2013, dianggarkan meningkat menjadi Rp 1.163 per kWh. “Ini jelas-jelas menunjukkan PLN tidak efisien,” ujarnya.
Pengamat dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, juga mengakui adanya kejanggalan pemakaian energi primer PLN. Di satu sisi, pemakaian BBM diklaim PLN turun. Tapi, Komaidi menemukan ternyata BPP masih tinggi, yakni sekitar 1.200 per kWh. Ia melanjutkan, berdasarkan laporan keuangan PLN, terlihat pembelian listrik dan sewa listrik dari pembangkit swasta (independent power producer/IPP) meningkat signifikan. “Memang BBM PLN-nya turun, tapi BBM IPP-nya naik. Jadi, itu masalahnya,” katanya.
Akibatnya, lanjut Komaidi, subsidi listrik 2012 yang semula dianggarkan Rp 44 triliun, kemudian diubah menjadi Rp 65 triliun. Pada semester pertama, subsidi sudah Rp 48 triliun. “Komaidi memperkirakan sekitar Rp 96 triliun sampai akhir tahun,” ujarnya. Maka itu, dia menyarankan PLN lebih banyak memakai pembangkit non-BBM, khususnya panas bumi.
Sebelumnya, pemerintah merencanakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) sebesar 15 persen dengan kebutuhan subsidi (listrik) tahun berjalan sebesar Rp 78,63 triliun. Sehingga, ada penghematan Rp 14,89 triliun. Bila tanpa kenaikan, subsidi mencapai Rp 93,52 triliun. Namun, pemerintah menjamin jika TTL naik 15 persen, sekitar 39,18 juta pelanggan PLN yang daya listriknya rendah atau golongan tidak mampu, dibebaskan dari kenaikan tarif itu.