REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Pakar Psikolog terkemuka Indonesia Prof Dr Sarlito Wirawono Sarwono menyebutkan benih-benih agresivitas seorang teroris cenderung sudah merasuk sejak usia dini dan bukan karena suatu proses pencucian otak (brain washing).
Dalam bukunya edisi bahasa Perancis 'Deradikalisasi kepribadian mantan teroris dengan menggunakan tes psikologi Davido-CHaD' atau dalam bahasa Perancis berjudul 'D'radicalisation de la personnalit d'ex-terroristes, l'aide du Davido-CHaD: 10 cas d'ex-terroristes Indonsiens', Dr Sarlito membahas kepribadian seorang teroris.
Koordinator Fungsi Politik KBRI Paris, Patrick Hasjim, kepada ANTARA London, Selasa (18/9) menyebutkan kehadiran Prof Dr. Sarlito Wirawan Sarwono di Perancis dalam rangka menandatangani buku karyanya edisi bahasa Perancis mengenai kepribadian seorang teroris.
Acara penandatanganan buku karya Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono ini dihadiri sejumlah undangan diantaranya Dubes RI Paris Rezlan Ishar Jenie dan Dr. Roseline Davido (pencipta test proyeksi CHaD-Childhood Hand that Disturbs serta kalangan psikolog Perancis.
Kegiatan ini berlangsung di toko buku Lettres du Temps Paris atas prakarsa Bensoultone yang merupakan pemilik toko buku tersebut.
Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Dekan Fakultas Psikologi Universirtas Persada Indonesia YAI dan penasihat ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga mengadakan pertemuan dengan pemerhati psikologi Perancis.
Dalam buku tersebut tes kepribadian mantan teroris menggunakan tes psikologi Davido-CHaD dengan kasus 10 mantan teroris Indonesia. Dalam kesempatan ini, Prof. Dr. Sarlito mengungkap dinamika yang mendorong para pelaku terorisme untuk berbuat kekerasan melalui tes proyeksi CHaD (Childhood Hand that Disturbs) temuan psikolog Perancis Dr. Roseline Davido.
Tes ini beranjak dari pemikiran filosof Jerman Ernst Cassirer bahwa manusia adalah makhluk simbol (man is an animal symbolicum) dan dimaksudkan untuk menggali informasi melalui wawancara dan observasi atas tiga gambar, yaitu gambar masa kanak-kanak (childhood), gambar tangan (hand), dan gambar tangan yang mengganggu (disturbed hand).
Dari gambar-gambar ini diharapkan akan bercerita mengenai trauma di masa kanak-kanak. Proses menggambar diamati secara cermat, dimulai dari pensil warna yang digunakan atau yang akan digunakan tetapi tidak jadi dipakai serta bagian gambar yang dihapus dan digambar ulang, tema, penempatan berbagai elemen, goresan garis, pilihan dan komposisi warna.
Setelah selesai, pemberi tes akan melihat simbol-simbol dalam gambar dan menanyakan pola sikap gambar tersebut kepada subyek percobaan.
Analisa Prof. Sarlito atas tiga gambar yang dibuat oleh 10 mantan teroris adalah adanya benih-benih agresivitas seorang teroris cenderung sudah merasuk sejak usia dini dan bukan karena suatu proses pencucian otak (brain washing).
Orang dengan kepribadian normal dan tidak agresif cenderung menggambar tangan biasa dan tangan disturbed berbeda, sedangkan orang yang agresif cenderung menggambar dua tangan tersebut dengan mirip.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam benak seorang teroris yang agresif, batas baik dan buruk sangat tipis, ujarnya. Untuk gambar di masa kecil, dianalisa juga dengan metode wawancara.
Hasil gambar lazimnya adalah pemandangan gunung dan sawah, namun saat wawancara ditemukan penyebab trauma yang mendasari mengapa mereka terlibat dengan kelompok radikal, yaitu penemuan figur ayah atas diri pemimpin kelompok radikal, kebutuhan jiwa akan rasa bangga (self-esteem) dan karena keturunan keluarga agama radikal, demikian paparan Prof. Sarlito yang mendapat sambutan dari para undangan.