REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah dinilai multitafsir dan berpotensi mengusung pasal karet. Terkait itu Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyatakan pihaknya sudah meminta kepada pihak pemerintah untuk memperbaiki beberapa hal yang masih dianggap bermasalah.
Beberapa gagasan yang dianggap belum jelas adalah definisi keamanan nasional maupun ancaman nasional yang belum jelas ukurannya, sehingga dikhawatirkan menjadi multitafsir. "Seharusnya pemerintah memperbaiki dulu," jelasnya, kepada Republika, Selasa (18/9). Namun ternyata, hal itu tidak juga dilakukan. Pasal-pasal multitafsir terus ada.
RUU yang diajukan pemerintah tersebut dinilainya belum siap untuk dibahas di DPR karena masih mengandung sejumlah pasal karet. Misalnya pasal 54 e, tentang kuasa khusus yang dimiliki unsur Kamnas yaitu hak menyadap, menangkap, memeriksa dan memaksa. Menurut dia, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM.
Selain itu, menurut Tubagus, dalam pasal 59, RUU ini menjadi lex spesialis, menjadi semacam payung yang menghapus UU lainnya. "Termasuk UU nomor 3 tentang Pertahanan Negara," kata Tubagus.
Pasal 22 jo 23, lanjut Tubagus, memberikan peran terlalu luas kepada unsur BIN sebagai penyelenggara Kamnas. Pasal 10, 15 jo 34 tentang darurat sipil dan militer sudah tak relevan lagi bila acuannya pada UU keadaan bahaya. Pasal 17 (4) menyatakan bahwa ancaman potensial dan non potensial diatur dengan keputusan presiden. "Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan sangat tirani," kata Tubagus.
Ia menegaskan, bukan hanya itu pasal yang bermasalah. Tubagus menegaskan masih banyak pasal-pasal karet lainnya yang dapat diselewengkan oleh penguasa demi kepentingan politiknya.