REPUBLIKA.CO.ID, Namun, Mazhab Hanafi mengatakan bahwa orang merdeka yang membunuh budak wajib diqisash. Mereka mendasarkan pendapatnya pada ayat Alquran yang sama di atas.
Perincian dalam ayat tersebut menurut mereka bukanlah sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi agar terdapat keseimbangan, tetapi keseimbangan itu ada pada bentuk pelanggaran yang dilakukan, baik berupa pelukaan maupun pembunuhan.
Di samping itu, juga didasarkan pada persamaan setiap Muslim (baik merdeka maupun budak) di hadapan hukum qisash karena sama-sama menyangkut nyawa atau anggota tubuh yang merupakan anugerah Allah SWT.
Menurut Satria Effendi, ahli usul fikih kontemporer dari Indonesia, ayat-ayat Alquran tentang budak bersifat antisipatif. Maksudnya, munculnya ayat-ayat tentang budak tersebut adalah dalam rangka mengantisipasi keadaan zaman jahiliah yang menjadikan budak sebagai lambang kekayaan individu.
Selanjutnya dikatakan bahwa Alquran tidak berbicara tentang sebab-sebab yang legal suatu perbudakan, artinya dalam Alquran tidak ada syarat- syarat tertentu untuk menjadi seorang budak. Bahkan seluruh ayat tentang perbudakan tersebut bertujuan untuk menghapus masalah perbudakan.
Walaupun Alquran bertujuan menghapus perbudakan, namun Alquran tidak secara drastis mengubah kondisi perbudakan yang sudah mapan di zaman jahiliah tersebut. Alquran berupaya secara bertahap dan sistematis menghapus sistem perbudakan melalui berbagai syariatnya.
Misalnya, bagi orang yang menzhihar istrinya, hukuman yang pertama adalah memerdekakan budak (QS. 4: 92). Kemudian apabila seseorang melanggar sumpahnya sendiri, hukuman pertama yang dikenakan adalah memerdekakan budak (QS. 5: 98). Bagi orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadan, hukuman pertamanya adalah memerdekakan budak (HR. Jamaah dari Abu Hurairah).