Rabu 19 Sep 2012 00:15 WIB

Islamofobia, dari Satanic Verses Hingga Innocence of Muslims

Rep: Adi Wicaksono/ Red: Yudha Manggala P Putra
Salman Rushdie dan buku kontroversialnya, The Satanic Verses.
Salman Rushdie dan buku kontroversialnya, The Satanic Verses.

REPUBLIKA.CO.ID,  Peristiwa pemboman Gedung World Trade Center (WTC), September 2011, bukanlah pemantik merebaknya Islamofobia di kalangan masyarakat Barat. Jauh sebelum aksi yang diklaim didalangi oleh Usamah Bin Laden itu, kebencian terhadap Islam telah ditebar di seantero jagat.

Tahun 1988, Salman Rushdie menerbitkan novelnya 'Satanic Verses' di Inggris. Novel tersebut langsung menggemparkan dunia Muslim dengan isinya yang penuh penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. 

Dari judul bukunya saja, Rushdie menggambarkan seolah-olah kitab suci umat Islam adalah ayat-ayat buatan setan. Komplain dan aksi protes langsung digelar di berbagai negara Islam menuntut penarikan buku tersebut. 

Di tahun yang sama, kebanyakan negara Asia dan Amerika latin seperti India, Bangladesh, Indonesia, Singapura, Afrika Selatan, Venezuela, melarang peredaran buku tersebut. Hanya Turki di antara negara berpopulasi Muslim yang tidak memberlakukan larangan.

Februari 1989, pemimpin Iran, Ayatullah Khomenei mengeluarkan fatwa untuk menghukum mati Salman Rushdie. Fatwa ini diumumkan menyusul insiden aksi protes di Islamabad, Pakistan yang menewaskan enam demonstran. Iran sendiri terus mendukung fatwa tersebut hingga tahun 1998.

September 2005, surat kabar Denmark, Jyllands-Posten mempublikasikan karikatur berlabel Nabi Muhammad SAW. Karikatur ini kemudian dipublikasi ulang oleh media di hampir 50 negara.

Aksi protes bergolak di berbagai negara. Sebagian aksi berujung pada kekerasan hingga menewaskan sedikitnya 100 orang. Kedutaan besar Denmark menjadi target pemboman dan perusakan di sejumlah negara seperti Pakistan, Suriah, Lebanon, dan Iran. 

Komunitas Islam juga melakukan protes dengan melakukan boikot terhadap produk-produk Denmark. Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen menggambarkan kontroversi ini sebgai krisis internasional terburuk Denmark sejak Perang Dunia II.

Februari 2012, dunia Islam kembali dikejutkan dengan pembakaran Alquran oleh sejumlah tentara Amerika Serikat di Afghanistan.

Sekitar 53 jilid mushaf Alquran dan 162 teks keislaman dibakar di Bagram Air Field, sebuah pangkalan udara AS di bagian utara ibukota Kabul.

Warga setempat berusaha menduduki pangkalan pasca tersiarnya kabar tersebut. Selama lima hari pengepungan, sedikitnya 30 warga Afghanistan dan empat orang warga AS tewas. Aksi protes juga terjadi di luar pangkalan hingga menewaskan 41 orang dan 270 luka-luka.

Belakangan, militer AS hanya menjatuhkan sanksi administratif kepada enam orang tentara yang diduga terlibat dalam pembakaran. Otoritas AS mengklaim, perbuatan mereka tidak didasari niat jahat untuk melecehkan Islam

sumber : Berbagai Sumber
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement