REPUBLIKA.CO.ID, Adapun Al-Hakim meriwayatkan hadis tersebut dari jalan Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah secara maushul (bersambung, tanpa ada sanad yang terputus).
Al Hakim mengatakan, isnad hadis ini sahih. Adz-Dzahabi menyetujui pendapat Al-Hakim ini, dan ia menambahkan bahwa sanad hadis ini memenuhi syarat Muslim.
Ibnu Turkumani berkomentar, "Tambahan keterangan (dari Al-Hakim) itu menetapkan kuatnya kemaushulan hadis tersebut, yang berarti hadis ini diriwayatkan dari berbagai jalan. Karena itu, As-Suyuthi dalam “Al-Jami’ As-Shaghir” memberi tanda sahih terhadap hadis tersebut.
Tetapi Al-Munawi menyanggahnya dalam “Al-Faidh” (Faidhul Qadir—Penj.) dengan sanggahan yang sama dari Ibnu Hajar. “Jadi, kalau hadis ini tidak mencapai derajat sahih, paling tidak ia hasan,” kata Al-Munawi.
Kemudian ada pula orang yang mendhaifkan hadis ini ditinjau dari segi maknanya. Katanya, "Bagaimana mungkin ada sesuatu yang halal tetapi dibenci Allah? Ini sesuatu yang kontradiktif yang menunjukkan kelemahan hadis tersebut.”
Sebagian orang ada yang mempertahankan kebenaran isi hadis tersebut dengan berpendapat bahwa perkara yang halal itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya, tergantung kondisinya. Jadi, ada perkara halal yang tidak disukai Allah.
Al-Khaththabi berkata dalam ‘Ma'alimus Sunan’, “Makna kebencian di sini mengacu kepada hal-hal yang menyebabkan terjadinya talak, seperti perlakuan buruk suami kepada istri. Sebaliknya, hubungan yang tidak harmonis antara keduanya sehingga menyebabkan terjadinya talak. Jadi bencinya Allah bukan kepada talak itu sendiri.”
Ada pula yang mengatakan, talak itu adalah halal, sedangkan kebencian (Allah) itu ditujukan kepada akibat yang ditimbulkannya, yaitu tertariknya yang bersangkutan kepada maksiat.