Kamis 20 Sep 2012 21:31 WIB

KH Ali Ma'shum, Perintis Pesantren Alquran di Indonesia (3)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
KH Ali Ma'shum.
Foto: blogspot.com
KH Ali Ma'shum.

REPUBLIKA.CO.ID, Baru beberapa hari menikmati masa bulan madu, Kiai Ali ditawari pergi haji ke Makkah atas biaya dari seorang dermawan.

Kendati dengan perasaan berat, dia menerima tawaran tersebut. Selama di Makkah, disamping menunaikan ibadah haji, dia juga memperdalam ilmu keislaman dan bahasa Arabnya.

Ia bermukim di Makkah selama dua tahun dan belajar kepada Sayyid Alwy Al-Maliky dan Syekh Umar Hamdan. Selain itu, ia juga menjalin hubungan dengan ulama lain, serta dengan berbagai lembaga dakwah dan madrasah yang ada di Makkah saat itu.

Dilema pengabdian

Ketika Ali Ma’shum pulang dari Makkah, tahun 1941, Indonesia sedang mengalami penjajahan Jepang. Kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat mengakibatkan pesantren sepi, ditinggalkan santrinya yang pulang kampung dan tidak mampu kembali ke pesantren lagi.

Saat-saat sulit seperti itulah yang dihadapi Ali Ma’shum sekembalinya dari Makkah. Tapi, ia tetap berteguh hati untuk menata pesantren ayahnya di Lasem.

Setelah sekitar dua tahun perjuangannya menghidupkan pesantren mulai membuahkan hasil, ia dihadapkan pada ujian yang lain. Ibu mertuanya, Nyai Munawir, menghadap KH Ma’shum dan meminta agar Ali Ma’shum pindah ke Krapyak untuk meneruskan mengasuh Pesantren Krapyak yang ditinggalkan oleh KH Munawir yang meninggal dunia pada 1942.

Dengan berat hati, ia pun meninggalkan Lasem, tanah kelahirannya, serta orang tua dan pesantrennya untuk memenuhi panggilan tugas yang lebih berat. Ketika Kiai Ali Ma’shum mengambil alih kepemimpinan Pesantren Krapyak, perkembangan pesantren tersebut memang kurang menggembirakan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement