REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Usulan Komisi III DPR RI tentang pemidanaan hakim dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Agung (MA), menurut pengacara M Assegaf merendahkan kehormatan hakim dan pengadilan. Menurut dia, hakim merupakan posisi yang agung dan terhormat. "Usulan itu sangat konyol dan merendahkan kehormatan pengadilan serta posisi hakim itu sendiri," ujarnya pada ROL.
Dia mengusulkan supaya Komisi III membahas lagi usulan tersebut secara cermat dan teliti. Lagi pula, kata Assegaf, sudah ada bagiannya yang mengatur dan mengoreksi hakim.
Ia mengatakan, ada tiga tingkatan proses untuk pengambilan hukum yang sah, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA. Karena itu, kata dia, lembaga tersebut bisa menegur dan mengkritisi hakim-hakim yang nakal. "Itu adalah usulan keputusan yang tidak masuk akal,” katanya.
Ketua Muda bidang Pidana Umum Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar, juga menyatakan tidak setuju atas usulan Komisi III DPR tentang pemidanaan hakim dalam RUU MA. Menurut dia, hal itu melanggar dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Di antaranya, bertentangan dengan UU tentang kebebasan pengadilan dan norma PBB tentang 'Independent of Yuridicial'."Saya tidak setuju atas usulan tersebut itu melanggar peraturan yang ada," ujarnya.
Artidjo berharap anggota DPR mencari perbandingan dan riset mengenai norma-norma hukum internasional tentang hak sipil dan politik."Ini bertentangan. Lagi pula, hal ini tidak ada di negara-negara besar, seperti AS dan lainnya," tambahnya.
Selain itu, menurut dia, hakim posisinya harus netral saat berhadapan dengan proses hukum. Mereka, kata dia, tidak boleh terpengaruh dengan kepentingan apa pun. Jika ada kesalahan, pengadilan di atasnya bisa mengoreksi. Dan, hakim yang melanggar peraturan hukum, bisa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. “Kalau ada usulan seperti itu, ini berarti ancaman. Pemerintahan akan menjadi lebih buruk dari Orde Lama ataupun Orde Baru," ujarnya.
Pihak MA akan menyampaikan surat keberatan kepada pemerintah terkait RUU MA yang diajukan DPR tersebut. "Kami telah mengirimkan surat keberatan kepada pemerintah sejak tiga minggu lalu," ujar Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko.
Selain soal pemidanaan, pihaknya juga tidak menyetujui sejumlah pasal dalam RUU tersebut. Dia mengungkapkan, sedikitnya ada sembilan pasal yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, baik hukum dalam negeri, hukum internasional, maupun secara universal. "Kita telah menunggu jawaban pemerintah terhadap surat kita terkait sembilan pasal tersebut," katanya.
Tetap diusulkan
Anggota Komisi III DPR, Eva K Sundari, mengatakan pihaknya tetap pada usulan semula soal pemidanaan hakim dalam RUU MA. Sebab, menurut dia, hakim merupakan objek hukum yang memiliki kesamaan dengan warga negara lainnya di depan hukum.
Karena itu, kata dia, penolakan MA atas RUU tersebut dinilai tidak tepat. "UU yang mana, itu asas kok. Kesamaan di hadapan hukum, berlaku untuk semua orang. Seperti peraturan lain, hakim kan juga jadi objek hukum," katanya.
Eva membantah jika RUU MA itu merendahkan pengadilan dan hakim. Menurut dia, usulan itu justru untuk memperkuat dan meneguhkan posisi hakim untuk senantiasa jujur, benar, dan cermat dalam menetapkan hukum kepada setiap orang yang dianggap melanggar hukum. "Hukuman tidak akan berlaku jika tidak ada pelanggaran. Tetapi, silakan dibahas di panja, toh ada juga perwakilan dari MA di perwakilan pemerintah," kata politikus PDIP ini.