REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) dinilai memiliki kesalahan paradigmatik, terutama dalam konteks Reformasi 1998. Hal itu karena aturan yang pernah mendapatkan penolakan DPR RI pada 2006 dan kemudian diajukan kembali 2011 tersebut akan mengembalikan fungsi militer pada kewenangan keamanan nasional.
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, malah menganggap RUU tersebut hanya akan menjadikan militer sebagai pendukung rezim koruptif. "RUU Kamnas juga hanya sebagai medium rekonsiliasi kekuatan militer," ungkapnya saat memberikan materi acara "Peringatan Semanggi II dan Penolakan RUU Kamnas" di Jakarta, Ahad (23/9).
Hal tersebut, menurut dia, dapat terlihat dari rencana pembentukan Forum Koordinasi Keamanan Nasional Daerah Kabupaten/Kota, seperti yang termaktub dalam Pasal 33 RUU Kamnas. Pasal tersebut memerintahkan bupati atau wali kota untuk membuat forum koordinasi yang berisikan pimpinan TNI wilayah, pimpinan Polri, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala BPPBD, dan Kepala BNNK.
Forum tersebut, lanjut dia, juga ingin diberikan kewenangan khusus, seperti menyadap, menangkap, atau menggeledah. Padahal kewenangan tersebut hanya menjadi milik instansi kepolisian juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usman menganggap, pemberian kewenangan tersebut malah menjadikan kapasitas penangkapan, penyadapan, atau penggeledahan milik penegak hukum, tapi bisa juga dilakukan oleh TNI, BIN, atau Bais.
Menurut Usman, kegiatan tersebut malah memperkeruh wilayah abu-abu antar aktor keamanan nasional yang justru jaraknya hendak diisi. "Forum itu sama seperti Dewan Sosial Politik ketika orde baru," kata dia.