Ahad 23 Sep 2012 17:08 WIB

Sudan-Sudan Selatan Selesaikan Isu Perbatasan

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Dewi Mardiani
Presiden Sudan Omar Hassan Al-Bashir.
Foto: guardian.co.uk
Presiden Sudan Omar Hassan Al-Bashir.

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Sudan dan Sudan Selatan berhasil melakukan langkah maju terkait pembahasan mengenai masalah minyak di perbatasan kedua negara. Presiden kedua negara telah bertemu Ahad (23/9) di Addis Ababa, Ethiopia, untuk membahas mengenai hal tersebut sekaligus memenuhi tenggang waktu Dewan Keamanan (DK) PBB.

Presiden Sudan, Omar Hassan al-Bashir, dan Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir, diprediksi akan menuntaskan pembicaraan tersebut Ahad waktu setempat atau Senin (24/9). DK PBB menyambut baik kemajuan pembicaraan tersebut.

"Ini adalah tanggung jawab presiden Sudan dan presiden Sudan Selatan untuk melatih kepemimpinan yang konstruktif serta mendemonstrasikan kemauan politik yang meratifikasi kemajuan yang telah dibuat seta menjembatani kesenjangan yang tersisa untuk memastikan kesimpulan yang berhasil dalam negosiasi tersebut seperti yang direncanakan pada 23 September," ujar DK PBB dalam pernyataannya.

Kesepakatan akan membuat ekspor minyak kembali bisa dilakukan. Keduanya sebenarnya telah meraih kesepakatan interim pada Agustus lalu terkait hal itu, namun saat itu Sudan bersikeras harus ada kesepakatan terkait keamanan terlebih dahulu. Hal tersebut tidak disepakati keduanya hingga pembicaraan selama dua pekan.

Akan tetapi beberapa jam sebelum tenggat waktu DK PBB habis, delegasi Sudan mengatakan pihaknya secara bersyarat menerima usulan yang diajukan Uni Afrika (AU). Hal itu telah disetujui oleh Sudan Selatan, untuk menciptakan zona demiliterisasi di sepanjang perbatasan.

"Terdapat proposal untuk menerima sektor ini dengan sejumlah peraturan khusus, militer, dan administratif," kata juru bicara delegasi SUdan, Badr el-Din Abdallah.

Konflik keduanya dimulai pada Januari lalu saat Sudan Selatan menutup semua ladang minyaknya di wilayah perbatasan. Hal tersebut dipicu permintaan adanya biaya transit minyak oleh pemerintah Sudan. Sejak saat itu Sudan Selatan, yang 98 persen pendapatan ekonominya bergantung pada penjualan minyak tersebut, berikrar tidak akan memproduksi lagi sampai kesepakatan terjadi.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement