Ahad 23 Sep 2012 22:05 WIB

AR Sutan Mansur, Bintang Muhammadiyah dari Barat (1)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Muhammadiyah dikenal memiliki basis yang kuat di wilayah Sumatra Barat. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan salah seorang tokohnya yang bernama Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur.

Ketokohan Buya AR Sutan Mansur tak hanya dikenal di kalangan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan saja, tetapi juga di kalangan luar Muhammadiyah. Ia dikenal sebagai tokoh yang hidup serba sederhana, tetapi memiliki pandangan luas.

Buya AR Sutan Mansur lahir di Maninjau, Sumatra Barat, 26 Jumadil Akhir 1313 H, bertepatan dengan 15 Desember 1895 M. Ia merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Ayahnya bernama Abdul Shomad Al-Kusaji, seorang ulama Maninjau, dan ibunya bernama Siti Abbasiyah yang lebih dikenal dengan Uncu Lampur.

Dalam buku “Perjuangan 29 Ulama Besar Ranah Minang” disebutkan bahwa kedua orang tua Sutan Mansur lebih dikenal sebagai guru agama di kampung Air Angat Maninjau. Karenanya, tak mengherankan bila pelajaran agama pertama diperoleh Sutan Mansur dari kedua orang tuanya.

Lalu, ia melanjutkan menimba ilmu di Hollandse Inlandsche School (HIS) di kampung halamannya dari 1902 hingga 1909. Di sekolah inilah, ia mulai mengenal pelajaran berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya.

Selepas menamatkan pendidikan di HIS, Buya mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Raja atau juga biasa disebut Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi dengan jaminan beasiswa dan jabatan guru yang akan disandangnya kelak.

Tapi, semua itu ditolaknya. Penolakan tersebut karena ia lebih senang untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan mengenai agama Islam.

Selain itu, sejak usia belia ia dikenal antipenjajah Belanda. Baginya, penjajahan sudah bertentangan dengan fitrah manusia. Karena itu, saat Belanda memberlakukan Undang-Undang Ordonantie 1928, Sutan Mansur termasuk salah satu orang yang berada di baris terdepan yang menolak peraturan tersebut.

Sebab, lahirnya undang-undang kolonial itu sama dengan pelarangan hak mengajari ilmu dan telah merampas kemerdekaan orang-orang dalam menyebarkan agama.

Demikian pula ketika Jepang menjajah Indonesia. Sutan Mansur termasuk orang yang keras pula menentang peraturan Jepang yang mencoba menghalangi shalat murid-murid yang tidak puasa di saat Maghrib tiba, dengan cara mengumpulkan mereka.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement