REPUBLIKA.CO.ID, Buya kemudian mendalami ilmu agama dengan berguru kepada Haji Rasul, seorang tokoh pembaru Islam di Minangkabau, selama kurun waktu 1910-1917.
Selama berguru, ia mendapatkan pengetahuan ilmu agama, seperti tauhid, bahasa Arab, kalam, mantiq, tasawuf, Alquran, tafsir, dan hadis.
Pada 1917, ia dinikahkan oleh sang guru dengan putri sulungnya yang bernama Fatimah. Fatimah juga merupakan kakak kandung Buya Hamka.
Setahun kemudian, Sutan Mansur dikirim sang guru ke Aceh, tepatnya ke Kuala Simpang, untuk mengajar di sana selama kurang lebih setahun (1918-1919).
Sejak remaja, Sutan Mansur memiliki keinginan untuk dapat melanjutkan studi ke Mesir. Tetapi, pemberontakan terhadap penjajahan Inggris yang terjadi di Mesir menggagalkan keinginan tersebut. Terlebih lagi, ia juga tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Hindia-Belanda.
Akhirnya pada 1920, ia memilih untuk merantau ke Pekalongan, Jawa Tengah, untuk berdagang batik dan menjadi guru agama Islam bagi para perantau dari Sumatra dan kaum Muslim lainnya. Selama di Pekalongan, ia sering melakukan interaksi dengan KH Ahmad Dahlan yang memang giat berdakwah di Kota Batik itu.
Perjumpaannya dengan pendiri Muhammadiyah inilah yang akan mengubah perjalanan hidup seorang AR Sutan Mansur di kemudian hari. Dia begitu terkesan dengan kefasihan Kiai Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk dirinya.
Mengembangkan Muhammadiyah
Dari sang ulama besar itulah, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah. Maka, pada tahun yang sama, dia masuk menjadi anggota organisasi kemasyarakatan itu dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin dan KH Mas Mansur.
Alasannya memilih untuk bergabung karena melihat semangat pembaruan yang disebarkan Muhammadiyah, yang mengajak umat untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, sesuai dengan semangat yang sedang berkembang di Minangkabau.