REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1923, Sutan Mansur diangkat menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan dan cabang Pekajang.
Selain aktif berorganisasi, hari-harinya juga diisi dengan kegiatan mengajar dan berdakwah. Para anak didiknya terdiri dari berbagai kalangan, antara lain bangsawan Jawa, keturunan Arab, serta orang Minang perantauan yang menetap di Pekalongan dan sekitarnya.
Pada akhir 1925, beliau diutus Pengurus Besar Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh dan berkembang di tengah ancaman dan konflik antara orang-orang Muhammadiyah dan kelompok komunis di Ranah Minang.
Dalam mengenalkan misi-misi Muhammadiyah, beliau menggunakan cara yang santun. Demikian pula dalam berpidato, dia tidak pernah menyinggung masalah perbedaan kaum muda dengan kaum tua.
Cara berdakwah Sutan Mansur yang tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat inilah yang membuat keberadaan Muhammadiyah di tengah masyarakat Minangkabau dapat diterima dengan baik, bahkan mengalami perkembangan yang pesat.
Banyak tokoh ulama dan pemangku adat di sana yang menaruh hormat kepadanya. Banyak pula di kalangan anak muda yang semula condong ke paham komunis akhirnya bisa diselamatkan akidahnya oleh dia.
Kedatangan Sutan Mansur di tanah Minangkabau pada saat itu, menurut Buya Hamka, sangatlah tepat. Kalau bukan dia yang datang, daerah Minangkabau akan berada di dalam genggaman komunis.
Keberhasilan Sutan Mansur di Minangkabau menarik perhatian Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta. Pada 1927, ia diutus bersama AR Fakhruddin dan Hamka untuk berdakwah dan mengembangkan Muhammadiyah di wilayah Medan dan Aceh.
Tiga tahun berikutnya, yakni pada 1930, di Bukittinggi, Sumatra Barat diselenggarakan Muktamar Muhammadiyah ke-19. Penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah di Bukittinggi ini merupakan bukti keberhasilan Sutan Mansur dalam mengembangkan Muhammadiyah.