REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendorong reformasi Dewan Keamanan PBB untuk mewujudkan suatu dewan yang merefleksikan realita abad 21 yang strategis dan memberikan keamanan untuk semua sehingga perdamaian menyeluruh dapat terwujud di dunia.
"Kita telah bergerak dari era Perang Dingin (Cold War) menuju era `Warm Peace`. Di era ini, dunia masih berhenti pada arsitektur keamanan internasional yang telah usang dan masih merefleksikan keadaan pada abad ke-20, hal ini berbanding terbalik dengan arsitektur ekonomi global yang telah menyesuaikan diri lebih baik dengan abad ke-21," kata Presiden dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB New York, Selasa waktu setempat.
Presiden menyebut reformasi Dewan Keamanan PBB sebagai suatu bagian dari pendekatan baru dan lebih imaginatif. "Kita harus bergerak menuju pola pikir yang baru. Akuilah bahwa sisa-sisa mentalitas Perang Dingin masih banyak dijumpai di berbagai belahan geoplitik termasuk di PBB. Kalkulasi-kalkulasi yang bersifat kaku, dogmatis, menang dan kalah (zero-sum), kadang-kadang masih digunakan," katanya.
Padahal, lanjut dia, untuk tercapainya perdamaian jangka panjang, perdamaian harus lahir dari rasa percaya dan saling menyakini perdamaian serta harus menghilangkan pola pikir yang lama.
Presiden kemudian mengatakan, dalam era "Warm Peace" hubungan antara sejumlah kekuatan besar untuk pertama kalinya ditandai dengan adanya stabilitas yang bersifat relatif dan kerja sama yang meningkat. Sekalipun belum diketahui bagaimana hubungan tersebut akan dapat mengakomodasi berbagai kekuatan yang semakin muncul yang juga turut mengubah bentuk tatanan dunia.
"Dalam era ini, kemajuan baru dapat dengan mudah menurun. Proses perdamaian yang diraih dengan susah payah akan berhenti atau bahkan terkoyak. Kantong-kantong kebencian, rasisme, intoleransi dan ektremisme akan berlanjut dan menodai dunia kita," katanya.
Oleh karena itu, Presiden menilai perdamaian yang dinikmati oleh dunia internasional di era "Warm Peace" saat ini masih bersifat relatif mengingat berbagai antagonisme dan konflik lama masih berpeluang muncul kembali di dalam situasi strategis baru dan bahkan berlanjut pada generasi-generasi baru.
Presiden juga merujuk banyak urusan yang belum tuntas antara lain konflik Arab-Israel, sengketa wilayah di Laut China Selatan, ketegangan di Semenanjung Korea dan lainnya.
"Mungkin kita semua harus tinggal di dalam abad `Warm Peace` untuk waktu berabad-abad. Namun saya percaya bahwa kita bisa menurunkan temperatur `Warm Peace` ini. Di mana memungkinkan, kita dapat menyelesaikan konflik satu demi satu dan memperkuat upaya secara gradual menuju perdamaian," katanya.
Pada kesempatan itu Presiden Yudhoyono menyebut ASEAN sebagai sebuah contoh sukses upaya mewujudkan perdamaian dan stabilitas di kawasan.
"Kami, di ASEAN telah melihat bahwa regionalisme seperti itu dapat menjadi kekuatan bagi perdamaian dan kerja sama. Sebagai hasil dari regionalisme yang kuat, seluruh negara di kawasa Asia Tenggara telah berkembang di bawah kerjasama ASEAN," katanya.
Menurut Presiden, di masa lalu kawasan Asia Tenggara dilanda sejumlah peperangan namun berkat ASEAN, kawasan tersebut menikmati perdamaian selama beberapa dasawarsa terakhir.
Selain menyampaikan pandangannya dalam sesi debat Majelis Umum tersebut Presiden Yudhoyono juga melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Brazil Dilma Vana Rousseff dan Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda.