REPUBLIKA.CO.ID, Sontak kehadirannya mengundang perhatian. Tubuhnya yang mungil tak mampu membawa beban pedang dengan ukuran yang melebihi postur badannya.
Keinginan tersebut dihargai oleh Rasulullah, tetapi akhirnya ditolak. Ini lantaran aturan peperangan melarang demikian. Tidak boleh mengikutsertakan anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia.
Zaid mendapat penjelasan langsung dari Nabi. Berperang tak cukup bermodal semangat, tetapi kesiapan fisik dan usia juga menentukan. Ia diminta agar sabar menunggu beberapa tahun lagi agar dinyatakan siap berjihad.
Jihad lisan dan pena
Penolakan itu membuat Zaid sangat kecewa. Sambil menangis, ia mengadu kepada ibunya. “Rasulullah melarangku berjihad,” ujarnya sambil menangis.
Sebagai ibu yang bijaksana, An-Nawar memahami semangat juang anaknya untuk menegakkan Islam. Namun, di sisi lain, pandangan Rasulullah sangat tepat.
Untuk mengobati kekecewaan anaknya, An-Nawar memberikan alternatif perjuangan lain yang bisa dilakukan anak seusianya. “Jangan bersedih anakku, jika jihad di medan perang belum boleh dilakukan anak-anak seusiamu, cobalah berjihad dengan cara lain, yakni melalui lisan atau tulisan,” katanya.
Usulan tersebut disampaikan bukan tanpa alasan. Sang ibu memahami betul potensi besar yang ada pada anaknya tersebut. Terutama, di bidang retorika dan tulis-menulis.
Sambil menghibur, An-Nawar meyakinkan lagi bahwa Zaid memiliki kelebihan dibandingkan anak-anak seusianya pada masa itu. “Engkau menguasai dan menghafal Alquran dengan sempurna, bisa menuliskannya kembali dengan baik,” katanya.