REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kasus tawuran di Indonesia sudah memperihatinkan. Pasalnya, angka kasus tawuran anak terlihat semakin meningkat.
''Hasil monitoring evaluasi kita terhadap kekerasan, ada 87,6 persen anak sekolah kita mengalami kekerasan di sekolah. Baik yang dilakukan oleh guru, sesama teman di sekolah, bisa kakak kelas, teman sekelas, atau adik kelas,'' ujar Ketua KPAI, Badriyah Fayumi di Jakarta, Kamis (27/9).
Menurut catatan KPAI, jelasnya, di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja jumlah kasus tawuran pada 2012 sudah mencapai 103 kasus. Dengan jumlah korban meninggal 17 anak. Angka tersebut naik dari angka pada tahun sebelumnya yang sebesar 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 12 anak.
Menurut dia, angka tersebut memang tidak mencerminkan kejadian faktual di lapangan. Pasalnya, angka itu merupakan data yang berhasil dikumpulkan melalui pengaduan langsung ke KPAI dan mitra serta pemantauan kasus anak di media massa. Ia meyakini ada kejadian-kejadian lain yang tak berhasil didata oleh KPAI.
''Ini merupakan fenomena gunung es. Jadi mohon persoalan ini menjadi bagian dari komitmen kita bersama," ujarnya.
Ia menambahkan, kekerasan sebaai puncak gunung es tak lepas dari kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang sedang sakit, terutama krisis keteladanan. Padahal, anak terlahir dengan lebih banyak mencontoh dari lingkungannya. Sementara yang dicontohkan lebih banyak berupa kekerasan, baik fisik maupun psikologi.
''Kekerasan dengan mudah didengar dan dirasanak anak-anak. Mulai di rumah, di jalan, di sekolah, di lembaga pemerintahan, di lembaga politik, dan dipertontonkan di depan publik melalui media massa,'' tegas Badriyah.
Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, Asrorun Niam Sholeh menambahkan, penanganan masalah tawuran membutuhkan penanganan serius dari seluruh elemen masyarakat. Misalnya sekolah yang harus mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penyelesaian. Antara lain dengan memberikan pendidikan karakter berbasis keteladanan dan eksplorasi nilai keadaban yang berbasis pada agama dan nilai luhur bangsa.
Orang tua juga dikatakannya tak boleh menyerahkan sepenuhya proses tumbuh kembang dan pendidikan kepada sekola tanpa ada perhatian dan kontrol yang memadai.
''Data KPAI dalam investigasi tawuran SMA 6 dan 70, diduga tersangka pelaku merupakan siswa yang sejak April 1993 tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Melainkan kos berpindah-pindah. Sehingga sulit melacak keberadaannya. Sementara orang tuanya tinggal di Bali, jadi kontrol terhadap anaknya sangat longgar,'' papar Niam.