Oleh: Hertasning Ichlas*
Dari mulut Hamamah terdengar permohonan maaf kepada semua termasuk penyerangnya.
Dia mewasiatkan anaknya untuk tidak mendendam kepada pembunuhnya dan memaafkan mereka karena kebodohan dan kegelapan (hati dan akal) mereka.
Hamamah meninggal dunia. Kematiannya membebaskannya dari hidup yang begitu rumit dan menindas dirinya dan warga Muslim Syiah di kampungnya.
Tohir, abang Hamamah yang sempat mengalami kondisi kritis, menceritakan ulang apa yang terjadi seraya meneteskan air mata dalam keadaan tergeletak lemah bersama pengungsi Syiah lainnya di GOR Sampang. Air mata Tohir pecah mengalir tanpa disertai wajah sesugukkan apalagi meratap.
Matanya tegar menatap ke atas sambil mengatakan dalam bahasa Madura yang patah-patah (yang tak saya mengerti) yang kira-kira setelah diterjemahkan artinya “… saya ini orang awam, saya kosong, semua ini tak ada artinya, kami ikhlas. Kami hanya mengharap ridha Allah dan syafaat Rasulullah. Saya hanya ingin damai. Tak ada dendam. Saya orang awam. Mestinya saya yang mendatangi kalian, bukan didatangi seperti ini, maafkan saya.”
Melalui Ustad Tajul Muluk, Ustadz Muslim Syiah di Sampang, Pak Hamamah dikenal sebagai murid Tajul dan ayahnya Kyai Makmun yang sangat setia. Ketika Tajul Muluk diusir dari Sampang oleh para pembenci Syiah ke Malang setahun lalu, Pak Hamamah adalah orang yang kerap menemani Tajul Muluk dalam pengasingan.
Hamamah setia mendampingi Tajul Muluk sampai kemudian gurunya itu dipenjara sekitar bulan Juli lalu karena dituduh melakukan penodaan agama, setelah sebelumnya menjadi bulan-bulanan diskriminasi dan penindasan.
Dari abangnya Pak Tohir, saya menemukan siapa Hamamah. Orang biasa dari sebuah kampung udik yang mengajarkan ketegaran iman. Melalui kematiannya saya menemukan pelajaran iman yang luar biasa. Iman orang awan yang jernih dan menerobos ke lubuk hati.
*Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia