Oleh: Hertasning Ichlas*
Iman Hamamah dan Tohir masuk menghunjam hangat di dalam hati tanpa keruwetan logika dan akal.
Dalam bening kejernihan kita tahu betapa tidak relevannya mempertikaikan bungkus formal Sunni atau Syiah di hadapan iman yang begitu privat dan personal seperti ketegaran iman Hamamah dan Tohir.
Kematian Hamamah adalah catatan kaki yang melukiskan keruwetan hidup di republik ini. Batu nisan Hamamah adalah saksi bisu kesekian kalinya tentang negara yang lumpuh di hadapan kepentingan politik picisan yang membiarkan satu kelompok eksis sendirian memberangus kelompok minoritas lainnya dengan cara apa pun termasuk pembantaian dan pengangkangan secara telanjang terhadap hukum, konstitusi dan keluhuran Pancasila.
Kematian Hamamah memancarkan lebih terang lagi ketertindasan kelompok minoritas pada umumnya di negeri ini.
Ketika semakin jelas bagi siapa pun warga negara yang berakal budi, betapa tak adanya sikap negarawan yang tegak dan jelas membela hak hidup orang seperti Hamamah; membela hak-hak kelompok minoritas; membela kemajemukan hidup bersama di negeri ini yang begitu niscaya.
Yang muncul hanyalah watak politisi penghamba kepentingan-kepentingan sesaat dan suara mayoritas. Mereka hanya pejabat yang tergopoh-gopoh menyebut-nyebut hukum ketika kebrutalan telah terjadi.
Saya berdoa, dari rahim ketertindasan kelompok-kelompok minoritas di Indonesia seperti kematian Hamamah, akan lahir para pemimpin-pemimpin Indonesia yang akan menyelamatkan hidup bersama, menegakkan Pancasila sejati, mengedepankan agama yang membebaskan, mencerahkan, dan memberi keadilan.
Kematian Hamamah adalah pengorbanan orang awam yang telah memisahkan dusta dari kata, merobohkan benci dengan cinta dan iman, meninggikan kemanusiaan dari dendam dan materi.
Kematiannya telah menjamin lahirnya kembali kehidupan, yang semakin jelas harus diperjuangkan dari tangan-tangan para perusak kemanusiaan bertopeng agama.
*Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia