REPUBLIKA.CO.ID, Dalam hal ini patut diingat, bahwa cinta yang sejati dan benar, menuntut seseorang agar bersedia mengikuti dan menyesuaikan diri dengan apa yang disenangi oleh kekasihnya dan menjauhi apa yang dibenci olehnya.
Karenanya, Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara- saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. At-Taubah: 24).
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu’. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa para sahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mencintai Tuhan kami dengan kecintaan yang amat mendalam.
Maka, Allah sangat berkenan menjadikan tanda kecintaan ini dengan menurunkan ayat tersebut.
Kemudian, di dalam Hadis Shahihain disebutkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah bersabda,“Ada tiga jenis manusia yang di dalam dirinya terdapat manisnya iman. Yaitu, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, hendaknya mencintai seseorang hanya semata-mata karena Allah, dan hendaknya membenci kekufuran sesudah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api neraka.”
Barangsiapa mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan kecintaan sejati dan keikhlasan hati yang paling dalam, maka ia dituntut untuk dengan sepenuh hati menyintai Allah dan Rasul- Nya, dan membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.
*Khutbah Masjidil Haram oleh Syekh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi, Khatib dan Imam Masjidil Haram